Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Berdansa dengan Siluman Ular Putih, Proses Kreatif Novel Qi-Sha Acek Rudy

19 Maret 2024   10:25 Diperbarui: 19 Maret 2024   10:25 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi cover Qi-Sha (dok pri). karya Andri Sonda

Tak terasa, setahun sudah hampir berlalu sejak novel pertama, Berdansa Dengan Kematian terbit dan tersedia di Toko Buku Gramedia (17 April 2023).

Rencananya, sih, novel kedua Acek Rudy, Qi-Sha: Tujuh Bintang Petaka, akan menyusul pada bulan Juli 2023. Namun, sepertinya semesta tidak mendukung. Ada saja hal-hal teknis yang menghambat. Mulai dari illustrator yang kurang enak badan, layouter yang super sibuk, hingga diriku yang masih kurang puas dengan hasil akhir novel ini.

Sepertinya ada yang kurang pas, tetapi aku pun tidak tahu di mana letak kesalahannya.

Iseng-iseng, manuskrip ini aku kirim ke beberapa penerbit mayor, hanya untuk melihat sejauh mana mereka menilai. Respons yang kuterima pun menjawab kegundahanku: Masih banyak kekurangan, terutama dari hal teknis kepenulisan dan ending yang kurang klimaks. 

Kabar baiknya, mereka menganggap alur cerita yang disuguhkan tergolong fresh dan original. Pola dan plot pun dianggap mirip-mirip drama korea. Menggabungkan fakta sejarah, realitas sosial, filsafat kuno, dan spiritualisme hingga menjadi sebuah kisah yang menarik.

Sampai di sini, aku tidak tahu harus senang atau gemetaran mendengar penilaian mereka. Di satu sisi, kreativitasku dinilai bagus. Namun, di sisi lain, skill menulisku dianggap masih dalam taraf yang belum terlalu mumpuni, alias: biasa aja.

IIlustrasi isi dalam novel Qi-Sha: Tujuh Bintang Petaka (dokpri karya Andri Sonda)
IIlustrasi isi dalam novel Qi-Sha: Tujuh Bintang Petaka (dokpri karya Andri Sonda)

Penasaran, aku pun menghubungi kawanku, Jia Effendie. Ia adalah editor senior novel Rapijali-nya Dee Lestari. Manuskrip dibaca, komentar pun diberikan: "Hm. Novel ini bagus, tetapi hanya sekadar bagus, Acek." Kira-kira seperti itu kesan pertamanya. Ya, rada-rada miriplah dengan pendapat editor professional lainnya.

Akhirnya, aku pun bekerja sama dengan Jia. Dimulai dari memperbaiki beberapa hal mendasar, seperti menguraikan infodump ke beberapa bagian terpisah, sehingga pembaca tidak merasa mual karena dijejali bongkahan informasi sekaligus dalam sebuah paragraf.

Head-hopping pun dihilangkan. Alias lompatan sudut pandang antar-karakter dalam satu adegan. Kesalahan ini rawan membuat pembaca bingung, siapa sih yang sedang berpikir atau berbicara.

Lalu, yang paling keren adalah menambah rasa pada kalimat. Tehnik ini mengacu kepada memberikan kalimat showing, bukan telling. Coba perhatikan contoh di bawah ini:

Telling: "Tomi berjalan dengan wajah lesu, pikirannya dipenuhi oleh ribuan pertanyaan yang belum terjawab."

Showing: "Tomi melangkah dengan kepala tertunduk. Ditendangnya kerikil-kerikil yang berada dalam pandangan, seolah-olah itu adalah jawaban atas pertanyaan yang masih tersisa di kepalanya.   

Nah, bisa lihat perbedaannya? Alih-alih mendikte apa yang dipikir atau dilakukan oleh Tomi, lebih baik menggambarkan apa yang sedang terjadi dengan Tomi. Biarkan pembaca yang menilai, membayangkan suasana hati, dan jalan pikirannya. Dengan demikian, pembaca akan lebih larut dalam rasa, dan lebih melekat dengan kisah yang dituliskan.

Setelah memperbaiki teknis dasar kepenulisan, kami pun lanjut bekerja mengurai alur kisah secara keseluruhan, mengulik plausabilitas yang mungkin masih tersisa dan meyeimbangkan narasi dan dialog.

Hasilnya?

Aku benar-benar puas. Alur kisah tidak berubah, dan gaya acek rudy masih kental terasa. Sebagaimana komentar dari para penerbit. Idenya fresh dan original, plotnya pun unik. Satu-satunya yang berubah dari novel ini adalah menjadi lebih menarik untuk dibaca.

Banyak hal yang membuat novel ini menarik, terutama dari sisi plot.

Legenda, Mitos, dan Sejarah yang Diramu Menjadi Satu

IIlustrasi isi dalam novel Qi-Sha: Tujuh Bintang Petaka (dokpri karya Andri Sonda)
IIlustrasi isi dalam novel Qi-Sha: Tujuh Bintang Petaka (dokpri karya Andri Sonda)

Mungkin pembaca sudah pernah tahu tentang legenda siluman ular putih melalui acara televisi 90an yang pernah viral. Namun, apakah pembaca sudah pernah mendengar tentang legenda putri Li-zi dari zaman dinasti Zhou yang konon sangat kejam sehingga diberi julukan siluman ular putih?

Memang, sih, kedua legenda ini tidak saling berkaitan, tetapi dalam kisah fiksi ini, sah-sah saja membuatnya terhubung. Menjadi lebih manis lagi, setelah aku menggabungkannya dengan kisah Mayor Giok di Batavia yang seluruh keluarganya dibantai Jepang. Ide ini terinspirasi dari fakta tragedi Mayor Thoeng di Makassar pada tahun 40an.

Masih ada pemanis lainnya.

Ada rumor yang beredar, konon terdapat jalan bawah tanah yang menghubungkan sebuah kelenteng di kota lama Jakarta, dengan sebuah gereja katolik, dan kedai teh di Pancoran. Cerita ini tidak pernah terbuktikan. Namun, tidak ada salahnya jika diangkat dalam kisah, dan menjadikannya sebagai sebuah plot menarik. Biarkanlah pembaca yang berpikir, apakah gosip itu benar adanya, sekaligus apa hubungannya dengan tradisi patekoan dan kasus geger pecinan yang kelam.

Nah, berbicara mengenai peristiwa geger pecinan yang menimpa saudara-saudara Tionghoa, rasanya tidak lengkap tanpa membahas peristiwa 98. Tanpa bermaksud untuk saling menyalahkan, saya mengangkat tragedi ini menjadi sebuah sub plot tentang Iblis Muka Pucat. Tokoh antagonis ini diceritakan menjadi pembunuh kejam setelah semua keluarganya dibantai pada kerusuhan 98.

Perlakuan rasialis terhadap kaum minoritas, memang masih membekas hingga kini. Akan tetapi, melalui novel ini, saya menyikapinya dengan hati-hati. Saya mengajukan sebuah jalan tengah untuk menciptakan perdamaian, bahwa seyogyanya teman-teman Tionghoa pun harus berbenah, agar isu rasialis tidak lagi mengemuka. Sebagaimana yang diucapkan Tomi pada saat mengunjungi kelenteng tua di pecinan, "Janganlah menjadi Cina, jika tidak ingin dikatai Cina."

Semangat pembauran juga saya tuangkan dalam kisah romansa. Di mana tokoh utama, Suci Arkadewi gadis keturunan Tionghoa asal Singkawang menjalin hubungan cinta dengan Joky Wicaksono, seorang polisi muda dari suku Jawa. Di sini saya ingin menegaskan bahwa seyogyanya cinta sejati itu tidak melihat perbedaan suku, ras, maupun agama.

Spiritualisme dan Mistisisme

IIlustrasi isi dalam novel Qi-Sha: Tujuh Bintang Petaka (dokpri karya Andri Sonda)
IIlustrasi isi dalam novel Qi-Sha: Tujuh Bintang Petaka (dokpri karya Andri Sonda)

Karena novel ini diangkat berdasarkan budaya Tionghoa, maka tidaklah lengkap tanpa membumbuinya dengan ilmu-ilmu metafisika Tionghoa, seperti Bazi (pei jit), hingga ilmu mao-shan kuno yang mengerikan.

Namun, dalam proses ini, ada dua hal yang cukup menantang. Pertama, aura mistis tidak boleh terlalu kental, harus ada plot yang membuatnya masuk akal. Untuk itulah saya melakukan riset terhadap jamur pemakan daging, mycetoma yang memang benar-benar ada di Afrika, dan diberi gelar Silent Killer. Dalam kisah ini, saya menunjuk Dr. Muthiah Alhasany yang saya kreasikan sebagai Doktor di IPB untuk menjelaskannya.

Tantangan kedua, sosok mistis dalam novel tidak boleh terlalu dipuja. Nanti terkesan musyrik. Untuk itulah adegan penyerahan diri kepada Tuhan dan kebijaksanaan Tri-Dharma (Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme) pun saya ulik melalui sosok Suhu Yong-min, seorang pendeta Tao, praktisi ilmu sesat, yang tidak kejam-kejam amat, karena masih memiliki nurani dan kebijaksanaan.

Numerologi

Nah, ini merupakan keahlianku. Mengulik dan memaknai arti filsafat angka. Dalam kisah ini, aku banyak mengisi filsafat angka dari berbagai sudut budaya. Membuatnya menarik dalam bentuk dialog di antara para tokoh.

Namun, tidak hanya sampai di sini. Mistisisme angka juga aku ulik dalam bentuk teka-teki untuk memecahkan kasus pembunuhan. Aku jamin, pembaca akan terperangah melihat bagaimana susunan struktur nama bisa begitu kebetulan dalam berbagai kejadian. Ya, mirip-miriplah film Number23-nya Jim Carrey.

Kompasiana dan Kompasianer Sahabat-Sahabatku

Saya merasa beruntung, memulai hobi menulis di Kompasiana, blog kita bersama ini. Tanpa Kompasiana, mungkin hari ini saya tidak akan menjadi novelis. Oleh sebab itu, salah satu gaya paten Acek Rudy adalah selalu me-mention Kompasiana dalam setiap novelnya. Entah dalam bentuk adegan salah satu tokoh yang disebut punya hobi nulis di Kompasiana, atau sebuah artikel misterius yang ditemukan di Kompasiana.

Begitu pula dalam mengutip nama teman-teman Kompasianer dan IPSA (Indonesian Professional Speakers Association) sebagai tokoh dalam cerita. Kompol EfWe terinspirasi dari sahabatku, Kompasianer Fery Widyatmoko. Di dalam kisah ini, ia tampil sebagai salah satu tokoh utama. Begitu pula dengan Suhu Yong-min, yang tidak lain adalah nama Tionghoa dari Kompasianer Miguel Dharmadjie, dan Donny de Keizer yang berperan sebagai pimred BeritaUtama TV.

IIlustrasi isi dalam novel Qi-Sha: Tujuh Bintang Petaka (dokpri karya Andri Sonda)
IIlustrasi isi dalam novel Qi-Sha: Tujuh Bintang Petaka (dokpri karya Andri Sonda)

Tentunya tidak ketinggalan Lintang Ayu (Kner Ayuh Diahastuti) dan Felix Sitorus (Kner Felix Tani). Kedua nama ini, bersama Tomi Kantaka telah kupatenkan menjadi trade-mark dalam semua novel misteri Acek Rudy.

Selain itu, ada juga beberapa nama Kners lainnya, seperti Muthiah Alhasany yang menjadi doktor peneliti dari IPB, Siska Artati yang menjadi jurnalis, Elang Maulana yang menjadi partner Kompol EfWe. Bahkan, jika Anda membaca baik-baik, ada juga beberapa nama Kners yang tampil singkat, seperti Arief R. Saleh sebagai Kombes Polisi, Firdaus Ayah Tuah sebagai satpam, dan Sigit Eka Pribadi sebagai polisi yang disandera.

Di bagian akhir, ada kemunculan Kners Aki Hensa. Walaupun singkat, plot ini aku siapkan untuk novel ketigaku, Petabhumi: Tembok Terkutuk. Di sana Aki Hensa akan menjadi salah satu tokoh utama, dan kemunculannya di Qi-Sha akan menjadi jembatan di bagian prolog Petabhumi nanti.

Narsis dalam Proses Kreatif

Yana Haudy, Kompasianer yang menuliskan resensi dari novel ini mengatakan bahwa ia merasa geli, karena merasa sudah mengenal nama-nama tokoh dalam nove ini. Terutama Acek Rudy yang dinilai narsis karena juga tampil sebagai salah satu karakter pendukung.

Yana Haudy rada-rada benar, sih.

Namun, perlu dipahami bahwa ini adalah bagian dari proses kreatifku. Aku membutuhkan inspirasi untuk mengembangkan karakter tokoh. Sebagai contoh, Kompol EfWe yang aku buat sedikit berangasan, tapi rasional ini saya ambil dari persepsi yang saya tangkap di dunia nyata.

Hal yang sama juga dengan Lintang Ayu yang suka bercanda, dan Felix Tani yang suka nyeleneh tapi berbobot. Di beberapa bagian, aku bahkan mengajak teman-teman Kners untuk menuangkan isi kepalanya ke dalam novel. Seperti pada teks breaking news yang dibuat oleh Siska Artati dan pidato pamungkas Suhu Yong-min yang dikonsep dari pemikiran Kners Miguel Dharmadjie sendiri.

Lalu, bagaimana dengan diriku? Ah, anggaplah sebagai ajang promosi, agar pembaca tahu kalau diriku bergelar Numerolog Pertama di Indonesia versi Rekor Muri. Tapi, memang narsis sih. Hehehe.

IIlustrasi isi dalam novel Qi-Sha: Tujuh Bintang Petaka (dokpri karya Andri Sonda)
IIlustrasi isi dalam novel Qi-Sha: Tujuh Bintang Petaka (dokpri karya Andri Sonda)

Wasana Kata

Jia Effendie memberikan pesan kepadaku. Setiap karya novel adalah tonggak penanda atas transformasi sang penulis. Saya tidak mengatakan bahwa novel kedua ini lebih baik dari yang pertama. Namun, saya harus jujur mengatakan bahwa novel keduaku memiliki rasa baca yang lebih renyah dan alur yang lebih menegangkan.

Harapanku, semoga aku bisa konsisten menghasilkan karya-karya lainnya yang lebih memuaskan. Dan, semoga karma baikku berbuah, hingga salah satu novelku akan diangkat ke layar lebar. Sadhu-Sadhu Sadhu.

Sampai di sini dulu ya, mengenai synopsis akan aku buat dalam kesempatan berbeda, setelah novel ini sudah tersedia di Toko Buku dan Toko Online.

Salam dan Terima Kasih

IIlustrasi isi dalam novel Qi-Sha: Tujuh Bintang Petaka (dokpri karya Andri Sonda)
IIlustrasi isi dalam novel Qi-Sha: Tujuh Bintang Petaka (dokpri karya Andri Sonda)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun