Kadang, orang-orang mengharapkan kita, kamu, dan saya, orang Cina mencintai Indonesia tanpa syarat terlepas dari apa yang terjadi di masa lalu. Kita harus membuktikan lagi dan lagi bahwa kita adalah warga Indonesia yang setia. Dan, terkadang, itu tidak pernah cukup.
Paragraf pembuka pada artikel ini saya kutip dari novel yang baru saja kubaca hingga tuntas. Judulnya: Perkumpulan Anak Luar Nikah (PALN), karya kawan saya Grace Tioso.
Jangan salah paham dengan judulnya.
Novel ini tidak bercerita tentang aib sekelompok orang yang lahir dari perkawinan tidak sah. Istilah Anak Luar Nikah mengacu kepada mayoritas Tionghoa Indonesia kelahiran 1960-1990an. Tertera jelas pada akta kelahiran mereka akibat kebijakan diskriminatif Pemerintah Indonesia di zaman itu.
Sebuah fenomena masif yang masih jarang diketahui, bahkan hampir tidak penah dibahas.
Mengapa demikian?
Karena anak-anak itu lahir dari ayah yang yang bukan WNI. Umum disebut dengan WNA, padahal mereka bukan juga warga negara Tiongkok, tempat leluhur mereka berasal.
Manusia-manusia ini adalah warga tanpa negara atau stateless.
Perlakuan diskriminatif pun masih berlanjut hingga dekade lamanya. Penanda pada KTP dan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) menjadi momok tersembunyi yang selalu membayangi. Â
Secara umum, isu inilah yang diangkat pada novel ini. Termasuk perlakuan-perlakuan diskriminatif warga keturunan Tionghoa di zaman Orde Baru.
Di novel PALN ini, Grace membawa fenomena ini dengan begitu menarik. Konflik dikreasikan dengan sangat natural, sehingga mampu mewakili apa yang dirasakan oleh mayoritas orang Tionghoa Indonesia di masa "kelam" itu. Fakta yang diungkit, sesuai dengan alur sejarah dan kenyataan di lapangan, sehingga saya, sebagai pembaca merasakan seperti sedang membaca sebuah buku biografi. Karakter dan alur yang dibangun dalam novel ini serasa begitu hidup dan nyata.