Akhirnya Megan memilih diam. Melihat dengan seksama seluruh aktivitas yang dilakukan oleh Shi Ngoi-pho. Secara bergiliran keempat wanita uzur ini melayani pelanggan. Ada yang bersembahyang, ada yang membakar foto, ada yang sibuk berbicara, dan ada yang sibuk menerima angpao.
Ada semacam altar yang lebih mirip meja tua. Di atasnya ada beberapa patung dewa. Salah satu yang menarik perhatian adalah patung yang mirip Kera Sakti yang melegenda. Menurut Tito, konon si Kera Sakti inilah yang bertugas mengirim santet kepada para klien Shi Ngoi-pho. Entahlah...
"Ayo cabut..." ajakan Tito membuyarkan lamunan Megan. Selangkah demi selangkah mereka berjalan meninggalkan kawasan Causeway Bay yang penuh sesak dengan manusia.
**
Keesokan harinya Megan kembali berkantor seperti biasa. Tapi, kali ini perasaannya benar-benar tidak enak. Awalnya dia berpikir akan memimpin divisi ekspor di perusahaannya. Tapi, kekecewaannya membuncah setelah bertemu dengan Alan. Seorang ekspat asal Indonesia. Ialah yang ditunjuk memimpin divisi Megan.
Kekesalan Megan semakin menjadi-jadi ketika si Alan menegurnya dengan keras. Hanya karena terlambat mengikuti rapat lima menit. Padahal ia sedang menerima telpon dari direktur di kantor pusat Jakarta. Syahdan hari itu adalah hari yang terburuk baginya. Â
Untuk mengusir kepenatan, Megan kembali mengajak Tito makan malam. Sembari kembali ke altar Shi Ngoi-pho di Causeway Bay.
"Lu mau nyantet siapa? Tito bertanya sambil terbahak-bahak.
"Lha, lu kan bilang altar mereka hanya sebagai ajang curhat. Gua kesel nih, si Alan itu sok banget." Megan menimpali candaan Tito dengan serius.
"Hati-hati lho. Bisa beneran kejadian..." Tito kembali memperingati Megan dengan tawa khasnya yang lebih mirip candaan.
"Biarin aja... Pokoknya gua kesel." Megan tak mempedulikan peringatan rekan kerjanya itu.