"Apa yang mereka lakukan?" Megan bertanya kepada Tito, rekan kerjanya di sebuah perusahaan logistik yang berlokasi di Hong Kong. Malam itu, Tito sedang "bertugas" membawa Megan berjalan-jalan, menelusuri keramaian kota Mutiara dari Timur itu.
Sudah hampir sebulan Megan bertugas di Hong Kong. Tiga bulan sebelumnya, ia mendapatkan tawaran pindah kerja oleh perusahaannya di cabang luar negeri. Bertugas sebagai perwakilan kantor pusat Indonesia di negara bekas koloni Inggris ini.
Megan langsung mengiyakan tanpa berpikir. Selain karena ingin menambah pengalaman, Megan juga ingin merasakan kehidupan sebagai ekspat. Tidak ada beban juga yang perlu dipertimbangkan. Megan adalah anak bungsu di keluarganya. Kedua orangtuanya sudah lama tiada. Kakak-kakaknya sudah memiliki pekerjaan yang bagus di bidangnya masing-masing.
Dan yang terpenting, Megan masih menjomlo. Meskipun usianya sudah 28 tahun, wajah dan penampilan yang menarik, bukan alasan Megan tidak laku-laku. Ia hanya tidak ingin saja.
"Mereka disebut dengan Shi Ngoi-pho. Dalam bahasa Kanton, artinya empat nenek. Sudah lama mereka berada di sini. Mungkin sudah puluhan tahun di saat Kawasan Causeway Bay belumlah seramai sekarang," Tito menjelaskan.
"Lalu, apa yang mereka lakukan? Mengapa begitu banyak orang mengantri di sini?" Megan masih kurang paham.
"Nah, pekerjaan Shi Ngoi-pho adalah tukang santet..." Tito tersenyum lebar. Bagian yang paling ia sukai saat menjelaskan keberadaan keempat wanita legendaris Hong Kong tersebut kepada setiap tamunya.
"Haaaa.... Tukang Santet!? Hong Kong gini lho!!!" Megan setengah berteriak, matanya terbelalak.
Tito tersenyum puas, berhasil membuat tamunya terkejut.
"Iya, inilah fenomena di Hong Kong. Penduduk metropolis yang masih susah melepaskan keyakinan mistis kuno. Sesuatu yang tidak akan ditemui di tempat lain," Tito melanjutkan kisahnya.