Tidak ada lagi wajah cupu berkacamata, rambut yang tidak pernah disisir, dan tubuh yang tambun tak berbentuk. Satria yang sekarang bertubuh atletis, dengan wajah klimis yang bisa bikin para gadis meringis.
“Yuk ke rumah duka, Ris…” Suara Joan membuyarkan lamunan Risha. Si gadis sempat meragu, tapi ia mengangguk.
Sesampainya di rumah duka, kedua orangtua dan keluarga Satria tampak sedang khusyuk melantunkan doa. Risha memilih tempat di pojok ruangan, berdua bersama sahabatnya Joan.
Suasana tidak terlalu ramai, mungkin karena hari baru menjelang petang. Terik matahari dan susasana perkotaan sepertinya tidak terlalu peduli dengan kesedihan yang mendalam.
Risha tidak sedih. Setidaknya itu anggapan dari teman-teman kampusnya. Tapi, yang mereka tidak tahu, Risha baru saja jadian dengan Satria. Beberapa hari sebelumnya.
Dalam kesendiriannya, Risha kembali membuka pesan-pesan terakhir dari sang kekasih. Cukup banyak yang mereka bicarakan dalam sepekan belakangan. Dari masalah pekerjaan Satria, kegiatan di kampus, hingga gosip tak berkelas.
Cukup banyak juga pesan tak penting yang dikirim Satria. Hanya sekadar menyapa selamat pagi ataukah sudah maksi. Basa basi.
Tangan Risha bergetar, wajahnya tegang. Sebuah pesan baru masuk ke gawainya. Perlahan Risha menggeser jarinya, menuju ke pesan terbaru yang berada di bagian paling bawah layar.
“Hati-hati Sopi.” Sebuah pesan dari SATRIA!
**
“Sopi… Sopi… Hati-hati Sopi datang.” Anak-anak kompleks mengejek Risha kecil yang judes. Tempat tinggal Risha bukanlah lingkungan besar. Sebuah perumahan kecil yang hanya berisikan sekitar 20 rumah. Berada di sudut kota, tidak terlalu banyak yang memilih tinggal di sana. Apalagi pasokan listrik yang belum memadai di zamannya, membuat kompleks itu semakin terkucil.