Setelah si Andika meninggal, begini kira-kira isi pesanku kepadanya;
"Dok... Si Andika meninggal karena GGA. Apa yang harus dilakukan sebagai pertolongan pertama, jika ada indikasi demam? Lalu apa saja gejalanya?"
Tidak perlu panjang lebar, menurut saya si dokter juga tahu riwayat Andika yang Terindikasi DBD dan kemudian divonis GGA.
Tapi balasan si dokter sepertinya kurang relevan. Ia menjawab singkat, "kalau demam, kita harus mencari tahu penyebabnya. Termasuk kemungkinan DBD."
Si dokter lalu melanjutkan, "Kalau gejala awal DBD terutama demam tinggi 3 hari, sakit kepala hebat, ada gejala khas nyeri retrobulbar (sakit di belakang mata), fatigue, home within 100m range of other DBD case."
"DBD umumya cuma itu, tidak ada gejala kelainan saluran pernapasan seperti batuk, beringus, sakit tenggorokan, etc."
Tentu saja saya tidak puas. DBD sudah bukan lagi masalah. Kurang menakutkan dibandingkan dengan GGA yang menimpa si anak. Saya lalu bertanya lagi, khwatir jika si dokter tidak ngeh kalau saya bertanya tentang GGA.
Si dokter masih lanjut menjelaskan cara untuk membersihkan lingkungan dari jentik-jentik nyamuk. Namun setelah saya mendesaknya untuk menjelaskan saja tentang GGA, si dokter pun membalas pertanyaanku.
Pernyataannya sungguh membuatku shock;
"GGA adalah fase terakhir dari DBDnya. Shock hemorrhagic. Perdarahan hebat, bocor-bocor pembuluh darahnya. Tidak ada yang pergi ke ginjal."
Saya terdiam. Artinya GGA sudah ada sejak DBD itu dikenal. Itulah yang terjadi kepada si Andika. Dan kini ibunya sedang menderita dengan mengira bahwa anaknya meninggal karena GGA.