Dikutip dari Wikipedia, baju adat adalah busana tradisional rakyat, pakaian daerah yang mengekspresikan identitas atau status sosial dari suatu daerah.
Di Indonesia sediri, setidaknya ada 34 pakaian adat yang jamak diketahui. Mewakili 34 provinsi Indonesia. Namun, jumlah tersebut belum termasuk ratusan lainnya yang mewakili setiap suku di Indonesia.
Termasuk baju adat etnis Tionghoa
Lalu, seperti apakah baju adat etnis Tionghoa. Mengingat di Indonesia juga terdapat suku Tionghoa dan jumlahnya mencapai 7 jutaan. Sebelum membahas hal ini, marilah kita menelusuri sejarah imigrasi nenek moyang orang Tionghoa di Indonesia.
Dikutip dari Wikipedia, terdapat 56 kelompok etnis di China. Namun etis Han adalah mayoritas. Totalnya sebesar 91,51%. Sisa 55 kelompok minoritas lainnya terbagi di antara 105 juta dari total penduduk di China.
Dari ke-55 suku tersebut, sekitar 71% dikuasai oleh 7 suku minoritas utama, yakni Zhuang (16,9 juta), Hui (10,5 juta), Manchu/Qi (10,3 juta), Uigur (10,1 juta), Miao (9,4 juta), Yi (8,8 juta), Tujia (8,3 juta).
Bagaimana dengan orang Tionghoa di Indonesia? Dari catatan sejarah, nenek moyang orang Tionghoa di Indonesia didominasi oleh empat suku terbesar, yakni Fujian (Hokkian), Kanton, Tio Ciu, dan Khek (Hakka). Nah, keempat suku ini adalah bagian kelompok etnis Han. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa orang Tionghoa di Indonesia adalah bagian dari etnis Han.
Hanfu
Dari catatan sejarah, disebutkan jika baju adat suku Han adalah Hanfu. Hanfu sendiri berarti Pakaian orang Han. Pakaian adat ini memiliki sejarah yang panjang. Konon sudah ada sejak 4000 tahun lalu.
Dibuat dari kain sutra modelnya longgar dan berbentuk jubah yang menutupi seluruh bagian tubuh. Busana ini dilengkapi dengan kain pengikat yang melilit di pinggang.
Hanfu untuk lelaki dilengkapi dengan celana panjang longgar. Sementara kaum wanitanya berbentuk rok panjang yang terurai hingga ke bawah.
Menariknya lagi, tren busana ini tidak hanya menyebar ke seantero China, tetapi juga memberikan pengaruh kepada gaya berpakaian negeri sebelah. Kimono dari Jepang, Hanbok dari Korea, bahkan Ao Dai di Vietnam. Semuanya disebut mendapatkan ilham dari Hanfu ini.
Saat sekarang Hanfu sudah tidak lagi digunakan. Baik dalam keseharian maupun upacara-upacara resmi. Namun, kita masih bisa menemukannya dalam pertunjukan teaterikal. Khususnya yang bertemakan kehidupan China Kuno.
Pengaruh Dinasti Qing dan Etnis Manchuria
Selama ribuan tahun Hanfu terus bertahan dan menjadi identitas nasional etnis Han. Lalu pada abad ke-17 saat Dinasti Qing mulai berkuasa (1644), Hanfu pun dilarang. Alasannya, karena para penguasa Dinasti Qing berasal dari etnis Manchuria (etnis Qi).
Tidak main-main. Bagi rakyat yang masih berani menggunakan Hanfu, ganjarannya adalah hukuman mati. Sejak saat itu gaya fesyen di seantero China pun berubah drastis. Dari gaya Han menjadi gaya tradisional Manchu (gaya Qi).
Qipao dan Changshan
Baju tradisional suku Manchuria yang otentik untuk wanita bernama Qipao. Bentuknya longgar dan besar dan menutup rapat di seluruh bagian tubuh dari leher hingga tumit. Menariknya, tujuan dibuatnya busana ini agar orang-orang tidak bisa membedakan usia dari yang mengenakannya. Entah alasannya apa.
Sementara pada era yang sama, kaum lelaki diwajibkan menggunakan Changshan. Secara harafiah, Changshan sendiri berarti jubah panjang.
Shanghai Dress, Cheongsam, Samfoo
Seiring waktu berjalan, Qipao pun mengalami perubahan. Asal mulanya berawal dari Shanghai. Kota Pelabuhan dengan penduduk yang padat ini terdiri dari suku Wu etnis Han. Namun, ada juga etnis Wuyue dan Ningbo. Asimilasi budaya dari ketiga etnis inilah yang kemudian memberikan pengaruh budaya di Shanghai.
Qipao pun diubah sesuai selera orang-orang Shanghai. Sangat identik, sehingga namanya pun disebut sebagai Shanghai Dress. Yang membedakannya dengan Qipao adalah kerah yang lebih tinggi dan modelnya yang lebih pas di badan (body-fit).
Gaya berpakaian ini menjadi populer dengan cepatnya. Seiring dengan perkembangan kota Shanghai. Orang-orang barat menyukainya, sehingga seringkali dianggap sebagai pakaian adat orang Tionghoa secara keseluruhan.
Warna cerah dan kontras identik dengan gaya berbusana orang Shanghai. Filosofinya pun disematkan sesuai musim. Seperti merah melambangkan musim panas, hijau untuk musim semi, hitam pada saat dingin, dan putih pada saat musim gugur. Â
Lalu pada awal abad ke-20, popularitas Dinasti Qing mulai menurun. Rakyat mulai gerah dengan kekuasan monarki yang semena-mena. Pemberontakan pun mulai terjadi dimana-mana. Termasuk dalam gaya berbusana.
Muncullah Cheongsam seperti yang kita kenal sekarang. Modelnya terilhami dari Shanghai Dress yang dianggap berbeda dari aturan pemerintah. Warnanya lebih cerah, lengan pendek hingga model tank top.
Cheongsam juga memiliki lebih banyak aksesoris bordiran sesuai selera pengguna. Bagia bawahnya juga tidak melulu panjang. Kadang bisa lebih pendek sesuai selera. Secara umum Cheongsham bisa dikatakan versi modern dari Qipao.
Namun Cheongsam tidak terlalu praktis. Bentuknya yang ketat membuat penggunanya sulit berjalan apalagi berlari kencang. Cheongsam juga identik dengan wanita muda yang masih memiliki lekuk tubuh yang sempurna.
Sebagai solusi ada Samfoo. Baju ini adalah versi casual dari Cheongsam. Samfoo sendiri secara harafiah berarti "pakaian sehari-hari (casual dress)." Penamaannya terdiri dari dua kata, yakni Sam (atas) dan Foo (bawahan).
Model Sam pada Samfoo hampir mirip dengan Cheongsam, tapi dengan kancing yang lurus ke bawah. Sementara Foo (Fu) berbentuk celana panjang longgar (trousers) dengan karet pengikat pada bagian piggang.
Selain itu, warna busana Samfoo juga lebih kalem. Warnanya gelap atau putih dan tidak terlalu banyak corak seperti Cheongsam. Bentuknya juga agak longgar tidak ketat di badan.
Tidak sama dengan pakaian wanita, gaya berbusana pria Tionghoa tidak terlalu banyak mengalami perubahan. Sejak Changshan yang mulai digunakan pada era Dinasti Qing, model yang sama masih dipertahankan hingga saat ini.
Meskipun demikian, ada juga pakaian tradisional lelaki China yang mungkin jarang diketahui.
Tang Suit (Tangzhuang)
Gaya berbusana ini adalah versi modern dari Hanfu. Arti harafiah Tanzhuang sendiri adalah busana Tang. Sesuai dengan sejarahnya yang muncul pada zaman Dinasti Tang (abad ke-7 masehi). Modelnya merupakan penggabungan dari elemen tradisional dan teknik cutting ala barat.
Baju ini tercipta karena alasan praktis. Tidak seperti Hanfu yang ribet, adopsi bukaan depan model barat sudah mulai digunakan. Bagian atasnya juga sudah berkerah, tidak lagi oblong seperti para pendahulunya. Selain itu, pada bahu juga ditaruh bantalan, sebagaimana model jas orang barat. Bahannya pun lebih bervariasi. Selain sutra, bisa juga dari brokat atau satin.
Jubah Labuh
Lalu ada juga jubah labuh. Sampai sekarang masih marak digunakan oleh lelaki Tionghoa menjelang imlek atau pada acara-acara resmi. Hal ini disebabkan karena desainnya yang lebih elegan, longgar, berkerah tinggi (kerah mandarin), dan berlengan panjang. Warnanya pun cerah dan kontras. Diyakini untuk memikat Hoki.
Baju Adat Tionghoa Indonesia
Pada awal abad ke-20 saat Dinasti Qing mulai runtuh, banyak orang-orang Tionghoa yang memilih Asia Tenggara sebagai rumah baru mereka. Termasuk di Indonesia.
Pada saat itu, gaya berbusana yang diperkenalkan adalah Changshan dan Samfoo yang sesuai zamannya. Thus, baju ini pun identik dengan para pendatang China.
Proses asimilasi pun terjadi. Hingga baju koko yang sudah identik sebagai busana pria muslim Indonesia pun tercipta. Diadopsi dari baju tradisi orang Tionghoa yang tidak lain merupakan perpaduan dari Changshan, Tangzhuang, dan Jubah Labuh.
Nah, inilah sekilas sejarah mengenai baju adat Tionghoa. Tidak terlepas dari sejarah perkembangan budaya di China, namun dengan campuran proses asimiliasi yang lebih manis.
Semoga Bermanfaat
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H