Saya sering diejek terkait dengan sikap pragmatis orang Tionghoa ini. Disebutkan jika orang Tionghoa tidak percaya Tuhan dan menghamba duniawi.
Ah, saya pikir kalau soal kepercayaan itu sudah bukan ranah manusia untuk menjustifikasi. Lagipula hal ini juga bagus untuk toleransi. Tidak membedakan dewa-dewi berarti memiliki sikap terbuka terhadap seluruh aliran kepercayaan.
Hal ini terbukti dengan sikap papa mama. Meskipun mereka rajin sembahyang di Kelenteng, saya tidak pernah dilarang untuk beribadah di rumah ibadah lainnya.
Menurut pendapat saya, pencarian Hoki adalah sebuah dorongan moral untuk tidak pernah menyerah. Sekaligus sadar diri, bahwa kehidupan di bumi adalah sebuah perjuangan tanpa henti.
Asumsi saya, bisa saja hal ini yang mendorong etos kerja orang Tionghoa yang tak pernah lelah dalam berusaha. Hoki itu adalah hak setiap orang, Anda hanya perlu mencarinya dengan lebih tekun. Niscaya kehidupan akan berpihak kepada kamu, kamu, dan kamu.
Meskipun demikian, tidak semua juga harus ditelan bulat-bulat. Ada prinsip yang saya adaptasi dari filsafat Buddhisme, yakni Ehipassiko. Prinsip ini mengacu kepada kebebasan untuk membuktikan, terbebas dari keyakinan membuta, dogmatisme, fanatisme, dan sikap intoleran.
Dalam Ehipassiko, sang Buddha tidak menyarankan manusia untuk langsung percaya dengan apa yang didengar, termasuk perkataan Sang Buddha sendiri. Setiap orang seyogyanya membuktikan kebenaran dari setiap ajaran sebelum menerimanya sebagai pedoman hidup keseharian.
Baca juga:Â Posisi Tradisi Dalam Agama Buddha
Masih percaya Hoki? Masih mendambakan Hoki?
Tentu saja. Karena Hoki itu adalah hak eksklusif surgawi. Namun jangan lupa, cara terbaik untuk mendapatkan Hoki, adalah dengan menciptakan Hoki bagi orang-orang di sekitar kita. Teruslah berbuat kebajikan, niscaya karma baik akan tumbuh subur. Pada saat itulah Hoki akan datang menghampiri.
Hoki yang berpetuah bilamana kita bisa menjadi agen perubahan. Menciptakan kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan bagi seluruh makhluk di muka bumi ini.