Tak ada lagi yang bertanya kepadaku, sudah berapa lama aku duduk di situ. Di sebuah kursi yang sudah lebih lama dari waktu.
Mereka hanya ingin tahu, untuk apa aku duduk di situ, tapi mereka tidak mau tahu mengapa aku merindu
Ketika kamu masih meragu, aku selalu meyakinkanmu. Lalu ketika hatimu sudah berlabuh, justru diriku yang tak menentu
Langit berwarna kelabu, nanti juga akan cerah membiru, begitu katamu. Tapi nyatanya akulah yang selalu mengharubiru. Mengumpatmu atas banalnya teorimu.
Lalu ketika langit tersenyum kepadaku, aku tak pernah lagi mengundangmu. Hati ini kubiarkan membisu. Dipenuhi dengan sampah masa lalu. Kubiarkan ada di sana, menjadi hiburan bagiku.
Dan ketika langit kembali kelabu. Aku melumurimu dengan debu. Mengumpatmu sebagai benalu. Penyebab dari semua sembilu.
Kini langit pun tak berwarna. Di antara biru dan abu, ku tak bisa lagi menemukanmu. Diri ini sudah tak bisa lagi berpilu, bahkan sumpah pun tak lagi membantu.
Takada lagi yang bertanya kepadaku. Untuk apa aku duduk di situ. Waktu telah berlalu, lebih lama daripada rindu.
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H