Liu Chun-lin tinggal di Taiwan. Dulunya ia adalah seorang anak yatim piatu yang harus bekerja apa saja untuk melunasi utang yang diwariskan oleh orangtuanya.
Tidak heran jika hidup Liu selalu diliputi kesedihan. Ia bisa menangis meraung-raung setiap saat dibutuhkan. Dan banyak orang yang menyukainya.
Ada pula seorang yang bernama Mao di China. Dulunya ia adalah seorang karyawan yang dipecat dari perusahaan. Sejak saat itu, ia tidak pernah lagi bekerja. Dalam 10 tahun terakhir, kerjanya hanya menangis. Tangisannya menggugah, bahkan bisa sampai berteriak histeris.
Akan tetapi, dari tangisannya mereka bisa menjadi pesohor. Liu tidak saja bisa melunasi utang orangtuanya, kini ia bisa hidup mewah. Mao di China sendiri bisa menjalani hidupnya layaknya sosialita.
Liu dan Mao menjalani sebuah pekerjaan yang unik tapi mentereng. Mereka adalah pelayat professional yang dibayar hingga jutaan rupiah untuk sekali berkunjung.
Begitu pentingkah menangis dalam prosesi kematian? Paling tidak kisah Mao dan Liu sudah membuktikannya. Mereka tidak akan dibayar mahal untuk menangis.
Sejatinya, pelayat professional sudah dikenal di China sejak zaman Dinasti Han. (206-220 SM). Upacara pemakaman bisa menjadi sebuah tontonan politik. Anggota keluarga yang tidak menangis akan digunjing oleh orang-orang sekitarnya. Bahkan tidak sedikit yang kehilangan nyawa, seandainya yang meninggal adalah seseorang yang memiliki posisi yang tinggi di masyarakat.
Meskipun tradisi ini pernah dilarang di zaman Revolusi Kebudayaan, akhir-akhir ini profesi tersebut kembali diminati. Sepertinya bagi orang China, tidak afdol rasanya jika tidak menangis di pemakaman.
Di Kongo, Afrika kisahnya beda lagi. Konon jika sanak keluarga tidak menangis saat prosesi pemakaman, maka arwah mendiang akan menjadi hantu penasaran dan datang menghantui keluarganya.
Tidak heran jika Gilbert Kubali menjadi kaya dengan mengumpulkan bakat-bakat penangis professional di sana. Di Goma, kota kelahirannya Kubali mendirikan perusahaan jasa makelar (EO) penyedia pelayat professional.