Ada seorang sahabat, namanya Conny (bukan nama asli). Di tengah bincang-bincang sore bersama, ia menceritakan kisah hidupnya kepada beberapa orang teman karib.
Conny mengaku jika ekonomi keluarganya tidak terlalu baik, terdampak oleh pandemi. Suaminya yang bekerja paruh waktu sebagai agen properti tidak lagi sama seperti yang dulu.
Menurutnya, suaminya kurang lincah dan tidak paham apa yang harus dikerjakan dulu. Jadi, si Conny mengambil alih. Ia mengatur semua kerjaan suaminya. Bahkan menyuruh suaminya untuk tidak membantu calon pelanggan yang tidak berpotensi.
"Tidak perlu buang-buang waktu," imbuhnya.
Alex adalah teman saya yang lain. Ia ada di sana pada saat si Conny sedang nyerocos. Alex yang dikenal sebagai penganut paham patriarki tulen mengatakan jika si Conny adalah toxic bagi suaminya.
Tentu saja pernyataan Alex dibantah oleh Jenny yang juga berada di sana. Menurutnya zaman sudah berubah, saatnya wanita bersuara. Apa yang dilakukan oleh Conny adalah cia-you baginya. Mewakili suara perempuan yang selama ini tertekan.
Nah, kisah singkat ini (jika bisa) melambangkan bagaimana seringnya konflik terhadap peran gender di masyarakat terjadi.
Peran gender memang sudah menjadi perdebatan sejak zaman bahulea. Atas nama patriarki, wanita harus tunduk kepada lelaki. Tapi gerakan emansipasi membuat para wanita menjadi lebih "jantan" dan berpengaruh di masyarakat.
Sebelum saya melangkah lebih jauh membahas perdebatan yang tiada habisnya ini, ada baiknya melihat bagaimana masyarakat Hua Papua Nugini mengartikan gender dan peranannya.
Masyarakat Hua sudah mengenal adanya energi kehidupan yang disebut dengan nu. Energi nu bermanifestasi dalam berbagai bentuk kehidupan, seperti nafas, keringat, darah, sekresi, dan lain sebagainya.