Hari ini ada yang aneh di Kompasiana, gegara tulisan Engkong Felix yang berjudul "Mengajar Ayam Bertelur di Kompasiana."
Mengapa Acek bilang aneh? Karena jelas bahwa Kompasiana bukanlah kandang ayam. Kalaupun beberapa saat yang lalu ada giliran WFH di palmerah, itu bukan berarti admin sedang bertelur. Karena jika mereka memang bertelur (baca: serius), maka seharusnya artikel Engkong tidak akan di-AU-kan.
Setelah membaca isi dari artikel tersebut, Acek tambah bingung. Karena Engkong terkesan lagi senang dengan telur (atau bertelur).
Padahal yang Acek tahu, selama ini Engkong hanya suka dengan susu sapi jantan. Jadi, dengan rumus ilmu angka plus kamasutralogi, Acek pun menyimpulkan - Engkong suka minum susu sapi jantan sambil remas-remas telor.
Setelah beberapa saat, barulah Acek paham jika kerusuhan tersebut ternyata berasal dari topil yang dianggit oleh mimin Kompasiana, temanya tentang dana pensiun.
Menurut Engkong, topil tersebut telah membuat banyak Kompasianer menjadi ahli pensiun dadakan. Padahal di antara mereka masih ada yang berstatus jomlo. Kawin aja belom, gimana mau pensiun?
Iya engkong, udahlah...
Sebenarnya situasi ini juga Acek rasakan. Setiap ada topil, para penulis di K berlomba-lomba menulisnya dalam berbagai sudut pandang yang berbeda. Jujurly, Acek pun demikian.
Sebabnya topil memang adalah aksi provokatif dari admin untuk bersama-sama menyerukan sesuatu yang sedang viral. Tujuannya tiada lain agar rumah kita bersama ini banyak dikunjungi pembaca. (padahal belum tentu demikian)
Nah, sebelum Acek memberikan opini lebih jauh terkait para penulis topil, Acek akan mendefenisikan dulu lima kategori penulis topil;
Tipe Ngepil
Istilah ini berlaku bagi mereka yang memang ahli di bidangnya. Misalkan seorang guru yang menuliskan tentang topil yang berhubungan dengan pendidikan.
Kata ngepil disini mirip dengan meminum pil (pahit). Alias pengalaman hidup penulis terkait pekerjaan yang mereka lakoni sudah cukup matang. Para penulis sudah cukup banyak menelan pil pahit dalam kehidupan dan mereka sukses menuangkannya dalam bentuk artikel yang bernas.
Tipe Ngopil
Para penulis yang senang ngopi sembari mengumpulkan ide di warung kopi termasuk dalam kategori ini. Mereka bukan expert di bidangnya, tapi pergaulan mereka luas sehingga informasi yang mereka dapatkan cukup bisa dijadikan referensi untuk menulis topil yang lagi hot.
Kekuatan artikel mereka berdasarkan kisah inspiratif yang mereka dengar. Ditambah lagi dengan opini dari ramuan susu kental manis yang mereka racik sendiri, ngopil masih terasa enak dinikmati.
Tipe Nopil
Mirip Ngopil, hanya kehilangan satu huruf "g" alias "gaul." Kehilangan huruf "g" berarti kurang gaul. Mereka tidak pernah mengumpulkan informasi secara langsung. Opini yang dibentuk berdasarkan informasi "dari grup sebelah."
Keabsahannya tidak pernah dicek, keasliannya tidak pernah direka, logika yang dianggit berdasarkan kisah fiksi. Hingga ternyata nama panggilan Neil Amstrong, manusia pertama yang mendarat di bulan adalah si Punguk.
Tipe Ngupil
Iya, ngupil adalah sebuah aksi yang hanya dilakukan oleh mereka yang bengong. Tapi, sejatinya aksi ini adalah tindakan yang mulia. Selain untuk membersihkan lubang hidung dari kenistaan, aksi ngupil juga bisa mendatangkan ide yang kreatif.
Jadilah para penulis ngupil sukses mendatangkan persona. Topil yang lurus berhasil dibuat berliku-liku. Topil yang kurus berhasil dibuat gemuk. Dan topil yang serius berhasil dibikin kenthir. Â
Tipe Ngemil
Ngemil adalah menikmati makanan ringan. Artinya topil dilahap dengan cara yang ringan-ringan saja. Sayangnya yang ringan di sini berarti tidak perlu banyak-banyak mikir.
Tulisan mereka renyah, enak dikunyah. Tapi, sebagaimana snack pabrikan yang banyak dijual di supermarket, informasi yang mereka anggit juga banyak tersebar di media-media online lainnya.
**
Nah, ini lima jenis penulis topil. Kamu termasuk golongan yang mana?
Sekali lagi buat pengelontong palu gada macam acek, aksi ini sah-sah saja. Acek akan memberikan contoh. Misalkan headset lagi laku-lakunya di pasaran. Tentu saja Acek juga akan menjual headset di toko.
Bukan hanya model korea yang harganya selangit. Tapi, juga kawe dua, kawe tiga, hingga kawe-kawe 69. Biar lebih banyak pilihan bagi konsumen toko Acek.
Begitu pula modelnya. Dari yang konvensional hingga yang dicolok di hidung, semuanya disediakan. Biar bisa digunakan oleh mereka yang hidup beradab hingga mereka yang akan mati dengan azab.
Nah, tidak ada yang salah bukan?
Tapi, akan menjadi salah jika acek sebagai tauke toko kelontong juga mengklaim bahwasanya dirinya juga adalah seorang dokter, hakim, bahkan emak yang sedang menyusui.
Lah, bedanya apa Acek?
Bedanya, jika kamu, kamu, dan kamu adalah pengelontong sejati, maka seharusnya referensi disertakan pada setiap tulisan. Tapi, jika referensi tidak ada, tiada bedanya dirimu dengan si punguk yang mengaku sudah pernah ke bulan. Â Â
Jadi, Acek setuju dengan pernyataan Engkong tentang banyaknya petelor yang bukan ayam di Kompasiana. Tapi, harus diingat. Kualitas petelor itu banyak. Pilihan berada di tanganmu. Apakah akan menjadi kualitas nomor wahid atau berada pada posisi 69 yang bikin merem-merem. Â
Bagi Acek sendiri kualitas diukur dengan banyak standar. Tapi standar yang paling tinggi adalah kejujuran. Jadilah penulis topil yang mengeram dengan sepenuh hati. Asal jangan melenguh terlalu keras, nanti engkong Felix terangsang. Eh...
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H