Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

7 Tipe Pengutil, Jenis Terbanyak Mungkin Termasuk Kita

21 Agustus 2022   06:05 Diperbarui: 21 Agustus 2022   06:06 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus ibu MA dengan Amelia pegawai Alfamart telah selesai. Peristiwa yang sempat viral itu ditutup dengan saling memaafkan. Lalu, kesimpulan pun datang dari netizen.

Si ibu mengidap kleptomania. Kesimpulan singkat ini muncul karena MA terlihat mengendarai mobil mewah. Ia juga pengusaha yang memiliki toko di Kawasan ITC Bekasi. Tapi, benarkah demikian?

Pengutil Kleptomania

Jelas harus ada pemeriksaan lanjutan dari psikolog. Kleptomania memang ada dan diakui oleh kalangan medis. Tapi, tidak semua orang yang mengutil adalah pengidap gangguan jiwa ini.

Sebabnya menurut survei yang dilakukan oleh sebuah Lembaga Pendidikan informal, 3rd Millennium, kleptomania hanya berkontribusi sebesar 1% saja dari seluruh kasus pengutilan.

Kleptomania adalah gangguan kognitif yang membuat pengidapnya tidak tertahankan untuk mencuri. Hal ini biasanya lebih banyak terjadi pada wanita dewasa di atas 20 tahun.

Barang sasaran mereka biasanya tidak terlalu mahal. Ukurannya pun kecil, pas dimasukkan ke dalam saku celana atau tas. Terkadang mereka terlihat gelisah, karena ada gejolak perasaan antara takut ketahuan dan keinginan yang membuncah untuk mencuri.

Karena Alasan Ekonomi

Mencuri karena himpitan ekonomi terdengar lebih rasional. Tapi, masih dari survei yang sama, tipe pengutil yang satu ini hanya beda tipis dari kleptomania. Jumlahnya 2% dan masih bisa berfluktuasi tergantung dari kondisi ekonomi sebuah negara.

Barang yang disasar biasanya bernilai tinggi dan mudah dijual. Seperti telpon genggam atau laptop. Dalam beberapa kasus, ada juga barang-barang kebutuhan pangan. Seperti daging, sayur, atau roti.

Beberapa dari mereka juga memiliki anak. Oleh karenanya kebutuhan bayi dan balita sering menjadi sasaran. Semisalnya susu bayi, popok bayi, atau obat-obatan.  

Tipe ini terkadang tidak memiliki pilihan. Mereka mencuri karena desakan situasi. Oleh sebab itu, mereka lebih mudah dikenali. Gugup dan gelagapan dalam menjalankan aksinya.

Pengutil Bengong

Jenis pengutil yang satu ini memberikan kontribusi yang lebih banyak dibandingkan dua jenis sebelumnya, tapi jumlahnya hanya sekitar 5%.

Sebenarnya lebih tepat jika disebut sebagai keteledoran. Contoh kasus seperti ini adalah mengambil barang dan lupa membayar. Atau anak kecil yang langsung membuka bungkus permen.  

Kendati demikian, hal ini bukan sesuatu yang sepele. Karena jumlahnya cukup banyak, sehingga pemilik toko juga harus berhati-hati. Mereka yang pernah melakukannya sebaiknya juga mengecek kondisi kesehatan.

Beberapa penyakit mental bisa dihubungkan dengan insiden ini. Seperti Alzheimer, skirzofenia, dementia, atau stress bahkan depresi.

Setelah mengetahui tiga jenis pengutil yang pertama, kini kita masuk ke jenis yang lebih serius. Saya sebutkan lebih serius, karena aksi mengutil mereka tidak disebabkan karena penyakit atau situasi.

Pencari Sensasi

Pernah mengingat masa kecilmu yang penuh kenakalan? Apakah mengutil di toko termasuk salah satunya? Nah, jika kamu, kamu, dan kamu pernah melakukannya maka kamu termasuk jenis ini.

Kenakalan remaja menyentuh segala aspek, mengutil termasuk yang paling sering. Atas nama solidaritas atau apapun tindakan tidak terpuji pun dilakukan.

Kendati demikian, ada juga pelaku yang melakukannya atas inisiatif sendiri. Alias tidak ada dorogan dari lingkungan. Pelaku seperti itu biasanya memiliki trauma masa lalu, khususnya kekecewaan dengan kondisi sosial. Bagi mereka, pemilik toko adalah kaum "kapitalis" yang membuat hidupnya menderita.

Aksi mengutil adalah pola pembangkangan terhadap keutuhan struktur sosial mereka. Tidak tertutup kemungkinan, mereka juga bisa terlibat dalam aktivitas negatif lainnya, seperti seks bebas, narkoba, alkohol, perjudian, hingga tawuran.

Atau bisa juga karena alasan yang lebih sepele. Seperti rasa bosan, ingin mencari sensasi baru, hingga ingin mendapatkan pengakuan.

Tahap Ketagihan

Dari survei, jenis yang satu ini menduduki peringkat ketiga terbanyak. Jumlahnya sekitar 10%.

Diawali dari keisengan, lama-lama menjadi kebiasaan. Jenis ini merupakan transformasi dari jenis Pencari Sensasi. Namun yang berbahaya adalah mereka melakukannya lebih sering.

Kenakalan remaja bisa menjerumuskan. Narkoba, alkohol, dan judi menjadi tiga momok teratas. Para pelaku tindak kriminal ini memerlukan modal. Cara termudah adalah mengutil dari toko.

Oleh sebabnya pelaku jenis Tahap Ketagihan ini tidak main-main. Mereka akan menyasar barang bernilai mahal dan mudah dijual.

Mereka termasuk orang-orang yang sering kena tangkap. Selain karena kurang terorganisir, sikap impulsif mereka menimbulkan keteledoran.

Pengutil/Pencuri Professional

Mereka menjadikan aksi pencurian sebagai mata pencaharian. Mereka biasanya bekerja sendiri, tetapi lebih banyak dalam sebuah grup. Tujuannya tidak semata-mata karena alasan ekonomi. Dorongan dari kebutuhan gaya hidup bisa juga menjadi penyebabnya.

Sesuai namanya, mereka sangat rapi dan terorganisir dalam mejalankan modus operandinya. Sebelum melakukan aksi pencurian, biasanya mereka sudah mempelajari situasi toko. Mengenali sistem pegamanannya, jam-jam yang tepat untuk bertindak, hingga daerah-daerah yang kurang pengawasan.

Mereka juga memiliki exit plan yang bagus. Misalkan langkah antisipasi jika ketahuan, atau jalan keluar untuk kabur dari pengejaran. Persiapan mental pun sudah dilakukan hingga hal yang paling buruk. Jika tertangkap, mereka sudah paham resikonya. Dan itu tidak membuat mereka jera.

Meskipun demikian, kategori professional ini bukanlah yang terbanyak dari seluruh kasus. Mereka hanya menempati urutan kedua dengan total kontribusi sebanyak 20% saja. Lalu jenis seperti apakah yang paling banyak?

Pathological Shoplifters

Tipe yang satu ini bisa disebut sebagai pengutil yang "sudah dari sononya." Tapi, tidak disebabkan oleh faktor genetik. Lebih tepatnya mereka adalah korban dari pergeseran nilai moral dan sosial.

Sekilas banyak yang mengira jika mereka adalah kleptomania. Memang mirip, tetapi berbeda.

Kleptomania adalah keinginan yang tak tertahankan untuk mengambil barang orang lain. Sementara para pathological shoplifters (singkat; PS) adalah seseorang yang hanya akan mencuri barang yang diinginkan dan pada kesempatan yang tepat.

Persamaan dari PS dan kleptomania adalah sama-sama merasa terhibur (atau merasa tidak bersalah) dengan aksi pencurian. Itulah sebabnya, masyarakat lebih mudah 'menuduh' jika kleptomania adalah gangguan penyakit mental yang masif.

Lalu seperti apakah isi kepala para pathological shoplifter ini?

Dikutip dari BBC, Laura (nama samaran), adalah seorang PS. Ia pertama kali mengutil pada saat berumur tujuh tahun. Saat itu, ibunya sendiri yang menyuruhnya menaruh sesuatu dari toko ke dalam tasnya.

Laura tidak terlalu kaget, karena baginya itu adalah tindakan terpuji suruhan orangtuanya. Lama kelamaan, Laura menjalani aksinya sendiri. Ia menganggap jika barang yang "berserakan" di dunia nyata adalah anugrah kehidupan yang bisa dinikmati.

Parahnya lagi, Laura juga tahu jika orangtuanya tidak pernah membelikan sesuatu yang ia inginkan. Kode kerasnya adalah "ambil saja di toko." Hukuman sosial tidak mempan baginya, karena keluarganya selalu tampil sebagai penyokong atas aksinya yang tidak terpuji.

Mengambil barang secara gratis bukanlah hal yang salah. Hanya perlu sedikit keahlian agar orang lain tidak mengetahuinya. Dari supermarket ke supermarket, Laura menjalankan aksinya.

Lalu kebiasaan tersebut berkembang lebih jauh ke dalam kehidupan sosialnya. Laura mencuri barang dari teman sekelasnya, mengambil uang dari dompet orang lain, hingga mengambil sesuatu yang menarik dari fasilitas umum.

Ketika ia dewasa dan sudah mulai membaur di masyarakat, Laura tahu jika mencuri adalah salah. Namun, dia ketagihan. Jika ia menyukai sesuatu, maka otaknya akan memerintahkannya untuk "ambil saja."

Laura melakukannya dimana-mana. Di tempat kerjanya, di tempat umum, bahkan di rumah temannya. Barang yang ia curi tidak selamanya yang mahal. Kadang barang bekas yang tak bernilai pun tak luput dari aksinya.

Apa yang terjadi?

Tanpa kita sadari kebiasaan mengutil ini sudah menjadi problema sosial yang besar. Dilansir dari beberapa sumber, kebanyakan pengutil tidak memiliki rasa bersalah dari aksinya.

Yang mencengangkan, masih dari bbc, sebagian besar dari mereka mengutil bukan karena alasan ekonomi. Lebih kepada dorongan dari alam bawah sadar. Dan hal ini menyimpulkan, memang benar "sudah dari sononya."

Kendati demikian, latar belakang sosial menjadi alasan terutama di sini. Sedikitnya mereka pernah terlibat dengan masalah keluarga atau di sekolah. Bisa karena kurangnya perhatian dari orangtua, atau menjadi anak yang sering dikucilkan.

Aksi mereka didorong oleh keinginan balas dendam terhadap ketidakadilan sosial yang mereka rasakan. Oleh sebab itu, meskipun mereka sudah sukses, tapi kebencian yang mengakar membuat aksi mengutil menjadi sebuah hasrat yang terpendam.

Lebih parah lagi, tanpa mereka sadari kebiasaan buruk ini mereka turunkan kepada anak-anak mereka. Hal-hal kecil terlihat sepele. Seperti meminjam barang tetangga tapi tidak dikembalikan. Sedikit banyak menimbulkan persepsi bahwa sesuatu yang telah berpindah tangan juga telah berpindah kepemilikan.

Tidaklah heran jika jenis ini menempati urutan pertama dan memberikan kontribusi sebanyak 50% dari keseluruhan kasus.

Pada akhirnya, kita semua harus sadar bahwa moralitas itu sangat penting. Ia harus selalu disertakan dalam benak setiap anak, bahwa ada nilai-nilai luhur yang harus dijaga dalam bermasyarakat.

Cobalah mulai bercermin mulai dari sekarang. Apakah kita telah menjadi seorang PS? Tidak harus mencuri lho, karena ketidakpedulian (moha), keserakahan (lobha), dan kebencian (dosa) adalah bibit-bibit dari gejala problema sosial yang satu ini.

Sesuatu yang dalam filsafat Buddhisme disebut sebagai Tiga Akar Kejahatan.

Semoga bermanfaat.

**

Acek Rudy for Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun