Kabar mengejutkan datang dari negeri Paman Sam. Pada Senin (8/8), rumah mantan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump di Florida diobok-obok oleh agen FBI.
Donald Trump memberikan pernyataan di media sosialnya, "Truth Social." Menurutnya itu adalah tindakan penyalahgunaan sistem peradilan untuk mencegah pencalonannya kembali pada 2024.
Mengutip beberapa media AS, tindak penggeledahan tersebut terkait dengan aksi DT yang memindahkan beberapa dokumen penting negara, dari Gedung Putih ke rumahnya di Florida.
Dokumen-dokumen tersebut seharusnya adalah milik negara, dan DT berkewajiban secara hukum untuk menyerahkannya kepada penggantinya. Namun, nampaknya presiden nyentrik yang satu ini menganggapnya sebagai memorabilia. Kenang-kenangan selama ia menjabat sebagai presiden AS.
Di dalam kotak berisi dokumen tersebut, konon terdapat beberapa barang kenang-kenangan, termasuk korespondensi Trump dengan Barrack Obama. Namun, di antaranya ada juga teks yang bersifat sangat-sangat rahasia.
Trump bisa saja berkelit jika itu adalah aksi lawan politiknya. Masalahnya, menyimpan dokumen negara di tempat yang tidak sah, sama dengan memanipulasinya.
Apalagi menurut Maggie Habberman, reporter New York Times yang pernah menyelediki Trump, ada kecurigaan jika pengusaha asal New York ini pernah membuang beberapa dokumen ke toilet Gedung Putih. Ia melakukannya secara berkala, seperti yang diungkapkan oleh staf Gedung Putih.
Lalu mengapa sampai Trump melakukannya?
Masih banyak spekulasi yang beredar. Kecurigaan terbesar berasal dari dua hal. Yang pertama adalah aksi DT dalam percobaan pembatalan Pemilu AS yang sah, terkait dengan serangan para pendukungnya ke gedung Capitol. Dan yang kedua adalah upaya untuk mengubah hasil pemilu di negara bagian Georgia.
Jika terbukti, Trump bisa dikenakan tuntutan penjara hingga lima tahun di bawah Undang-Undang Rahasia Negara AS. Dan masalah ini sepertinya tidak main-main. Sebagaimana pernyataan Renato Mariotti, mantan jaksa federal AS, "jika rumahmu digeledah FBI, Anda dalam masalah besar."
Lalu apakah Trump bisa terkena tuntutan?
Sebelum menjadi presiden, Trump pernah dituntut atas kasus penembakan seorang pria di Fifth Avenue, New York. Lalu pada 2019 saat menghadapi tuntutan tersebut, William Consovoy, pengacara DT dengan sesumbar berkata di depan pengadilan bahwa kliennya tidak bisa didakwa selama menjabat.
Kekebalan hukum bagi presiden AS ini telah banyak disalahgunakan oleh Trump selama ia menjabat. Mulai dari masalah uang tutup mulut kepada Stormy Daniels, bintang film porno yang terlibat skandal seks dengannya, hingga upaya menghalangi pengadilan dalam penyelidikan kasus pemilu 2016. Ini belum termasuk puluhan kasus lainnya, termasuk dugaan penggelapan pajak. Â
Meskipun tidak persis sama, kasus Trump mengingatkan publik tentang skandal Watergate yang menyebabkan jatuhnya presiden Richard Nixon. Kesamaan dari keduanya adalah menyalahgunakan kekuasaan sebagai presiden AS.
Menilik kepada kasus Nixon, ternyata ia mendapatkan pengampunan penuh oleh penggantinya, Geral Ford. Alasannya cukup sederhana, pengadilan pidana kepada Nixon hanya akan membuat bangsa Amerika terpolarisasi.
Kendati bukan kekebalan hukum, tapi atas nama politik, Nixon pun mendapatkan perlakuan istimewa dari negara.
Tantangan selanjutnya datang dari pemerintahan Biden. Desakan penyidikan hukum terhadap Trump telah bergema kuat sejak masa kepemimpinan DT berakhir, 2020 silam.
Tapi, itu bukan berarti Biden harus melakukannya. Lagipula belum ada dalam sejarah AS, ada presiden yang menghadapi tuntutan hukum setelah mundur dari jabatan.
Ketika diwawancari oleh media, Biden menjawab diplomatis. Saya tidak akan memberikannya pengampunan. Biarkan Departemen Kehakiman (AS) yang menjalankan tugasnya.
Ketika didesak, Biden kembali menjawab, "kalian ingin membuat saya terlibat dalam kasus ini (memenjarakan Trump), saya nyatakan tidak ke arah sana."
Bola panas bergulir ke tangan Departemen Kehakiman. Apakah akan ada tuntutan kepada Trump?
Barbara L. McQuade mengatakan jika tuntutan terhadap Trump berlanjut, maka Departemen Kehakiman harus melihat "konsekuensi tambahan." Resiko akan terjadinya perpecahan politik.
Sementara para pengamat politik negeri Paman Sam mengatakan, usaha menyeret Trump ke pengadilan sama seperti menuang lebih banyak racun politik ke negeri ini.
"Keinginan balas dendam dalah racun yang berbisa," ujar Jill Lepore, ahli sejarah dari Harvard University.
Bisa saja pernyataan ini benar. AS masih meghadapi banyak masalah. Dari kasus cacar monyet hingga krisis politik dengan China akibat kunjugan Pelosi ke Taiwan baru-baru ini. Bisa saja itu adalah prioritas yang lebih penting bagi pemerintahan Joe Biden.
Jadi, apakah ada tindak lanjut dari hasil penggeledahan FBI di rumah Donald Trump? Kita tunggu saja hasil selanjutnya.
Tapi, ngomong-ngomong. Bagaimana dengan di Indonesia ya?
**
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H