Di sebuah gedung pabrik yang lama terbengkalai, sekitar 30 anak muda mempelajari keterampilan dasar menggunakan senjata api. Senjata rakitan itu tidak sekuat model militer, tapi cukup untuk membunuh manusia dari jarak tertentu.
Mereka bukanlah kriminal yang ingin merampok bank. Tapi sejumlah anak muda dengan rasa nasionalisme tinggi. Mereka mempersiapkan diri untuk mempertahankan negaranya dari serangan asing. Mencontohi semangat anak-anak muda Ukraina yang berjuang melawan invasi Rusia.
Anak-anak muda itu adalah orang Taiwan. Dan kegiatan pelatihan itu dipimpin oleh Max Chiang, seorang pengusaha pelatihan bela diri. Menurutnya, sejak kunjungan Pelosi ke negaranya, jumlah peserta pelatihan ini melonjak hingga 50%.
Para anak muda tersebut paham jika lawannya nanti memiliki kekuatan militer yang dahsyat. Oleh sebab itu mereka sadar jika pelatihan perang adalah hal yang esensial.
Lisa Hsueh seorang ibu rumah tangga berkata, "kami hanya ingin mempertahan kebebasan kami, China adalah negara tanpa demokrasi."
Apakah kekhwatiran ini patut diantisipasi?
Sejatinya sejak 1949, Taiwan (ROC) dan China (RRC) telah bersiteru. China memberi cap "anak nakal" kepada Taiwan. Provinsi yang makar yang pada waktunya akan kembali ke pangkuan pertiwi.
Sementara Taiwan menganggap mereka adalah sebuah negara berdaulat. Memiliki sistem pemerintahan tersendiri, Angkatan Bersenjata sendiri, dan pemimpin yang dipilih oleh rakyatnya.
ROC adalah negara yang dulunya berkuasa sebelum RRC ada. Didominasi oleh Partai Nasionalis China (KMT), mereka adalah pemenang perang yang menggulingkan Dinasti Qing.
Sayangnya perang saudara terjadi. Di bawah Chiang Kai Shek, pemimpin ROC pada masanya, perang melawan Partai Komunis China (CCP) tidak terelakkan. Mao Dze Tong yang memimpin CCP akhirnya muncul sebagai pemenang. China pun berubah nama menjadi RRC.
Chiang Kai Shek kemudian melarikan diri ke Taiwan. Sebuah pulau yang terpisah dari China Daratan. Di sana ia melanjutkan pemerintahan ROC.
Transformasi kemudian terjadi, ROC yang awalnya dipimpin dengan cara otoriter oleh Chiang Kai Shek, lama kelamaan berubah menjadi negara demokratis. Adalah Chiang Ching Kuo, anak dari Chiang Kai Shek yang berjasa membuka pintu demokrasi di negara pulau tersebut.
Meskipun mendapatkan perlawanan dari kaum otoriter, Chiang Ching Kuo tetap bergeming. Dilanjutkan oleh pemimpin-pemimpin Taiwan sesudahnya, demokrasi di Taiwan tidak terelakkan.
Lalu Taiwan tumbuh menjadi salah satu kekuatan ekonomi di Asia. Kendati demikian status hukum negara mereka masih belum jelas. Ditandai pada tahun 1970an, saat RRC mulai membuka negara mereka.
Dengan kekuatan sebagai negara dengan penduduk terbanyak di dunia, mereka berhasil menggeser posisi Taiwan di PBB. Taiwan pun "terusir" dari PBB. Apalagi pada tahun 1979, hubungan Beijing dan Washington resmi dimulai.
Pada 1980an, hubungan Taiwan dan RRC sempat membaik. Itu karena kebijakan para pemimpin KMT di Taiwan yang melonggarkan investasi antara kedua negara.
RRC kemudian menawarkan program reunifikasi. Menjanjikan satu negara dengan dua sistem. Taiwan diberi kebebasan mengelola wilayahnya, namun harus mengakui bahwa hanya ada satu China. Sebuah sistem yang sama yang diberikan kepada Hong Kong.
Taiwan menolak, dengan alasan bahwa negara mereka sudah terbentuk dan rakyat sudah nyaman hidup dengan sistem demokratis. Walaupun demikian, diplomasi terbatas masih terus dijalankan oleh kedua negara.
Lalu pada tahun 2000, adalah Lee Teng Hui yang membuka jalan politik baru. Pemimpin Taiwan yang dijuluki bapak demokrasi ini mengubah konstitusi. Membuka peluang pemimpin non-KMT duduk sebagai pemimpin melalui pemilihan resmi.
Chen Sui Bian adalah presiden ROC pertama dari luar lingkar KMT yang terpilih. Konsep ini kemudian membuat hubungan antara RRC dan Taiwan kembali memanas.
Di bawah Partai Progresif Demokratik (DPP), Chen Sui Bian secara terbuka mengisyaratkan kemerdekaan bagi Taiwan. RRC lalu mengambil langkah tandingan.
Pada 2004 Beijing mengesahkan Undang-Undang Anti Pemisahan. Secara singkat menyatakan bahwa RRC memiliki hak resmi untuk menempuh cara tegas jika Taiwan bersikeras memerdekakan diri.
Bola panas terus bergulir, hingga Tsang Ing wen terpilih pada 2016 silam. Presiden yang satu ini terus menerus menyatakan keinginannya untuk berdaulat dari bayang-bayang pemerintah China Daratan.
Pada 2020 Tsang kembali terpilih untuk kedua kalinya. Memenangkan Pemilu dengan suara mutlak. Pergeseran politik di Taiwan ini kemudian membuat Beijing was-was. Tekanan terhadap Taiwan ditingkatkan, hingga kemudian memuncak pada saat kunjungan Pelosi ke Taiwan.
Lalu apakah China memang berniat melancarkan agresi militer ke Taiwan?
Terlepas dari apakah diakui oleh negara lain atau tidak. Status-quo mereka kemudian menjadi penting. Bagi sebagian masyarakat Taiwan, isu kemerdekaan adalah urusan kedua. Yang penting mereka bisa menjalani kehidupan dengan tenang.
Dan bagi China, posisi status-quo juga bukanlah ancaman. Tiada lebih dari halunisasi. Titik baliknya jika Taiwan mendeklarasikan kemerdekaannya. Pada saat itulah baru China tidak akan tinggal diam.
Anak-anak muda Taiwan tersebut sudah mahir menggunakan senjata. Entah apakah mereka sadar, jika China benar-benar menyerang Taiwan, mereka bisa mengusir militer profesional dengan senjata rakitan?
Ataukah itu hanya langkah untuk menenangkan diri? Entahlah.
Yang pasti orang-orang tua mereka sadar. Bahwa peperangan bukanlah solusi. Generasi tua Taiwan yang tergabung dalam KMT secara konsisten selalu meyakinkan Beijing bahwa Taiwan menyukai posisinya yang sekarang. Tidak mau merdeka meskipun tidak berkeinginan juga bergabung dengan China.
Hal ini terbukti dengan sebuah survei yang dilakukan pada Juni 2022. Hanya 5,2% orang Taiwan yang ingin merdeka secepat mungkin. Sementara 1,3% rakyat Taiwan mendukung reunifikasi. Sisanya nyaman dengan status quo. Kondisi yang nyaman untuk tidak bergerak kemana-mana.
Banyak pengamat yang berpendapat jika kunjungan Pelosi ke Taiwan adalah sebuah sikap yang sembrono. Bisa berakhir sangat buruk. Tapi, sepertinya memang politikus tidak mewakili rakyat. Apa yang dianggap penting, belum tentu demikian yang terjadi.
Apakah rakyat Taiwan menginginkan perang? Tidakkah para pemimpin dunia tersebut memikirkan dampak global dari peperangan? Seperti kutipan dari Groucho Marx
"Politik adalah seni mencari masalah, menemukan masalah, mengdiagnosisnya secara salah, dan memberi solusi yang salah."
**
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H