"Kan, demi medsos," ujarnya. Amsiong dah!
Setelah kembali ke meja, saya cukup kaget dengan perasaanku. Dari tadinya yang biasa-biasa saja, kini ada sedikit rasa kekaguman. Sikap Anies jauh dari gaya feodal ala pejabat-pejabat jadul. Perasaan ini kuceritakan pada para sahabat seperjuangan.
"Pencitraan, Anies memang harus begitu..." Salah seorang kawan berujar.
Saya terdiam, ada benarnya juga sih. Tapi, tentu saya punya kesan tersediri terhadap pertemuan singkat pada malam hari itu. Entahlah...
Beberapa bulan berlalu, kehadiran Anies kembali riuh di grup perpesananku. Ia berfoto bersama para pegurus INTI pada saat meresmikan gerbang China Town Glodok.
Lalu di grup perpesanan, kubu terpecah dua. Ada yang melajutkan konsep pencitraan, ada juga yang terkagum-kagum manja dengan sikap toleransi Anies. Eh...
Gerbang China Town memang sangat etnis. Kendati demikian ia tidak sepenuhnya milik orang Tionghoa. Bagi saya, konsep China Town melambangkan kemajuan berpikir sebuah bangsa. Tentang makna sejati dari pembauran.
Tapi, ada saja kaum ekstrim yang merasa jika Gerbang China Town adalah miliknya. Alasannya, karena ada embel-embel China di sana. Di sisi lain ada pula ekstrimis berlawanan yang meghubungkan poros Beijing-Jakarta. Mencoba mengulik kasus politik zaman Soekarno dulu.
Oke, abaikan saja. Sebaiknya kedua ekstrim tersebut tidak lagi bersuara, demi keutuhan bangsa ini.
Mari kita kembali kepada Anies. Sebuah tautan saya terima dari grup perpesanan. Isinya tentang hasil wawancara Anies Baswedan dengan kantor berita luar negeri, Straistimes. Sila klik di sini.Â
Dalam tulisan tersebut, Anies memberi tanggapan terhadap isu sensitif yang paling sering dituduh kepadanya -- intoleransi.