Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gerbang Pecinan Glodok Diresmikan, Asli atau Kawe Dua?

3 Juli 2022   05:21 Diperbarui: 3 Juli 2022   06:28 1614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamis 30.06.2022, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan meresmikan Gerbang Pecinan. Lokasinya di Kawasan Glodok, Jakarta Barat.

Banyak teman-temanku yang berada di sana. Mereka saling mengirimkan gambar di grup perpesanan. Berfoto ria dari segala sudut, seolah-olah imlek sudah tiba.

Saya yang bukan orang Jakarta, sejujurnya terpana. Ibu kota kita baru saja memiliki gerbang China town? Yang benar aja. Bukannya di Kawasan Pantai Indah Kapuk sudah ada? Iya, tapi bagi saya, itu adalah gerbang kawe dua.  

Sebabnya sebutan China town itu tidak sembarangan. Lokasi itu harus memiliki unsur historis. Dalam kasus gerbang pecinan Glodok, konon di sana dulu sudah ada sejak abad ke-18. Tapi, dihancurkan Jepang.

Dengan demikian, tepatlah jika daerah Glodok disebut sebagai China town di Jakarta.

Sejatinya konsep China town dan gerbangnya juga sudah bukan hal yang baru. Di beberapa kota di Indonesia juga sudah banyak.

Contoh, Surabaya dengan gerbang kya-kyanya, Semawis di Semarang, Ketandan di Yogya. Singkawang apa lagi. Di sana, (mungkin) satu kota adalah Kawasan Pecinan.

Saat ini China town bukan lagi tentang orang Tionghoa saja. Kalaupun gerbangnya penuh dengan aksara mandarin dan ornamen China, itu bukan tentang identitas.

Tapi, kalau dulu iya.

Munculnya China town itu karena adanya Cina perantauan. Kebiasaan merantau orang Tionghoa ini sudah berlangsung lama, jumlahnya juga banyak. Tidak heran jika tersebar ke seluruh dunia.

Sejarah kedatangan bangsa Tiongkok ke bumi Nusantara sudah ada sejak abad ke-7. Tapi baru pada abad ke-11, mereka mulai menetap. Kebanyakan karena urusan dagang.

Ekspedisi Laksamana Cheng-ho pada 1400-an kemudian membuat Nusantara semakin populer. Pulau Jawa dan pantai utaranya menjadi pilihan bagi warga Tiongkok untuk menetap. Beberapa hanya untuk sementara, menunggu kapal datang mejemput. Sebagian lagi menetap selamanya, menikah dengan penduduk lokal.

Lalu pada saat orang Tionghoa datang ke negeri asing, terbentuklah koloni. Wajar saja, karena para perantauan memang suka hidup berdampingan.

Tapi, ada juga karena alasan politis.

Di Indonesia, penguasa Hindia Belanda suka mengelompokkan penduduk berdasarkan ras. Tujuannya biar lebih gampang diatur.

Undang-undang Wijkenstelsel pada 1836 ditenggarai sebagai penyebab tumbuhnya pecinan di Indonesia secara masif. Aturan ini melarang orang Tionghoa bermukim di sembarang tempat.

Harus ada tempat yang sudah ditentukan. Tidak boleh sembarang keluar masuk, dan tidak boleh sembarang bersosialisasi. Termasuk bergaul dengan warga pribumi.

Salah satu alasan dari pemerintah kolonial adalah ketakutan munculnya pemberontakan. Seperti pada kasus Geger Pecinan (1740).

Selain itu, pemerintah Hindia Belanda juga ingin memanfaatkan kelebihan penduduk Tionghoa. Sebagai pendatang, orang Tionghoa dikenal memiliki etos kerja yang tinggi.

Pecinan kemudian dijadikan sebagai pusat produksi, pusat perdagangan, dan pusat distribusi. Tidak heran jika China town identik dengan pusat perdagangan hingga saat ini.

China town adalah sebuah konsep yang komprehensif. Di sana ada bangunan kuno yang keberadaannya sudah seusia Tionghoa perantauan itu sendiri.

Di sana ada sejarah, tentang bagaimana keragaman terbentuk. Tentang bagaimana bahasa berasimiliasi, dan juga bagaimana dua kebudayaan saling berbaur.

Lalu, aksara-aksara China. Baik yang kuno peninggalan moyang, hingga yang modern buatan mesin. Semuanya adalah bukti bahwa bangsa Tionghoa telah berada di sana sejak lama.

Jadi, keberadaan gerbang bukanlah satu-satunya penanda sahih eksistesi China town. Meskipun demikian, gerbang adalah hal yang penting.

Budaya China merupakan perpaduan dari tiga ajaran keyakinan, yakni Taoisme, Confucianisme, dan Buddhisme. Sedikit banyak gerbang China town juga merupakan akulturasi dari budaya ini.

Secara umum, gerbang China town memiliki empat karakteristik utama;

Satu

Pilar dan tiang berwarna merah dan/atau kuning. Kedua warna ini merupakan warna yang paling populer bagi orang Tionghoa. Merah melambangkan keberuntungan, kemakmuran, keberanian, dan hal-hal baik lainnya. Sementara kuning mewakili warna kekaisaran.  

Dua

Ornamen naga yang merupakan lambang dari kewibawaan, kejujuran, dan keperkasaan. Hewan mitologi ini juga melambangkan energi surgawi. Bagi orang Tionghoa, naga adalah pelindung manusia yang diutus dari langit.

Tiga

Atap melengkung berwarna hijau. Konsep arsitektural kuno ini dikenal dengan nama Paifang. Secara harafiah, Pai berarti plakat dan fang adalah kota dalam istilah tiongkok kuno. Jadi, Paifang sendiri berarti penanda kota.

Empat

Yang terakhir, tapi tidak kalah penting adalah tulisan dalam aksara mandarin; "Thang ren jie." Artinya adalah Kota Cina.

**

Kembali kepada acara peresmian Gerbang Pecinan Glodok. Dalam sambutannya, Anies berkata jika ada yang unik dari gerbang ini.

"Sekilas terlihat jika gerbang ini sama dengan China town di tempat-tempat lain. Ada naganya, motif awannya. Tapi berwarna beton," ujarnya.

Saya mulai mengerutkan keningku. Tidak ada warna merah dan kuning, sudah menyalahi satu kaidah. Ditambah lagi tulisan China townnya tidak dalam aksara mandarin, sudah dua kesalahan. Persoalan ketiga adalah tidak ada atap hijau ala arsitektur Paifang.

Ya udah lah...

Marilah kita berpikir terbuka saja. Bahwa kebudayaan itu memang berasimilasi. Warna merah telah menjadi warna beton. Ornamen naga tidak berada pada puncak. Dan arsitektur paifang sudah tergantikan dengan yang lebih kontemporer.

Walaupun begitu, saya tetap setuju dengan pernyataan Anies untuk sama-sama merawat persatuan bangsa. "Kita berharap agar warga di sekitar sini bisa menjadi tuan rumah yang baik, ketika ada wisatawan datang."

Pak Anies, jangan hanya wisatawan dong. Sesama anak bangsa juga harus menjadi tuan rumah yang baik.

Benar gak sih? Eh...

**

Referensi: 1 2 3 4

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun