Di zaman bapakmu itu adalah pelanggaran. Lagi pula si bapak guru hanya memberiku pelajaran. Tindakan yang sama juga akan ia lakukan pada saat saya menjadikan bendera merah putih sebagai kain lap tangan. Jadi untuk apa marah-marah lagi.
Baca juga: Aku Trauma dengan Sang Merah Putih
Kata Tionghoa atau Tiongkok memang sebaiknya digunakan. Keputusan Nomor 12 Tahun 2014 telah mengukuhkannya. Tapi, istilah Cina tidak bisa begitu saja dienyahkan. Itu hanya urusan semantik saja.
Lagipula beberapa padanan kata lebih cocok dengan kata cina. Seperti obat cina, makananan cina, atau tumbuhan sirih cina (peperomia pellucida). Masa mau marah?
Saya tidak akan marah jika kamu, kamu, dan kamu memanggilku dengan Cina. Tapi saya tidak akan tinggal diam jika ada orang yang masih meragukan Keindonesiaanku.
Wasana kata
Meskipun kontrovesial, saya tidak menganggap Ong Tjong Hay alias Kristoforus Sindhunata sebagai penghianat Tionghoa. Ia pasti punya alasan untuk itu. Sayangnya tidak saya menemukan referensinya.
Lagipula kalau istilah "pengkhianat" yang digunakan, siapa sih yang dikhianati? Warga keturunan tentunya. Tapi, apakah Sindhunata mengkhianati bangsanya? Itu yang harus diperjelas!
Perlakuan diskriminatif kepada orang Tionghoa telah menjadi bagian dari sejarah ini. Pertanyaannya, apakah kita mau terus demikian? Buat saya pribadi sih, diperlukan dua tangan untuk saling berjabatan.
Hitam dan Putih bukanlah musuh. Jika bersatu, itu adalah keseimbangan sejati. Laksana filsafat Yin yang. Dua energi yang berbeda namun saling melengkapi. Keduanya akan membentuk sebuah kekuatan yang maha dahsyat. Yang bernama Alam semesta.
**