Yth, Bapak Roy Suryo
Mungkin saja bapak tidak mengenal diriku, meskipun kita pernah bersama dalam satu grup perpesanan. Tapi yang pasti saya mengenal bapak, sebabnya bapak adalah mantan Menteri yang terhormat.
Di grup perpesanan yang telah bapak tinggalkan tersebut, bapak cukup rajin menyapa. Tentu saja penting, banyak orang hebat di sana. Dari pimred media utama, motivator terkenal, pengusaha sukses, hingga politikus besar.
Tidak ada sekat di sana, canda tawa terasa begitu lepas. Tidak ada satu pun anggota yang merasa lebih rendah dari yang lainnya.
Padahal jika mau ditilik, perbedaan status dan jabatan jelas ada. Ada yang bukan siapa-siapa sebagaimana diriku, ada pula figur publik terkenal seperti bapak.
Begitu pula dengan warna kulit dan agama. Kita terdiri dari perbedaan, tapi seharusnya memang begitu. Karena Indonesia adalah negara yang majemuk. Saya senang berada di sana, sebagaimana rasa cintaku terhadap negeri ini.
Lalu setelah sekian lama kita tidak saling menyapa, sore ini saya mendapat kabar tentang kiprah bapak di media sosial. Sebuah unggahan tentang Borobudur. Stupa Sang Buddha telah berubah bentuk, wajahnya mirip Presiden RI Joko Widodo.
Terlampir pula sebuah caption dari bapak. Saya kutip, "Mumpung akhir pekan, ringan2 saja twitnya. Sejalan dgn Protes Rencana Kenaikan Harga Tiket naik ke Candi Borobudur yg DITUNDA itu, Banyak Kreativitas Netizen mengubah salahsatu Stupa terbuka yang ikonik di Borobudur itu, LUCU, he-3x AMBYAR."
Ah, tentu saja mantan kawan-kawan bapak di grup perpesanan bisa memaklumi. Sejak pertama kehadiranmu di sana hingga pergi meninggalkan kami, bapak memang rajin bergurau.
Sayangnya unggahan bapak di Twitter itu dibaca oleh khayalak se-Nusantara. Bahkan hingga melewati batas negeri ini. Lalu apa yang terjadi?
Banyak yang menanggapi keras, tapi ada pula yang mendukung. Ada yang tidak merasa nyaman, dan ada juga yang memberikan jempol. Sebabnya objek yang diunggah mewakili keyakinan beragama dan juga martabat bangsa.
Yang pasti, benih perpecahan mulai tercipta.
Bagaimanapun juga agama Buddha adalah agama yang sah di negeri ini. Begitu pula dengan Jokowi, beliau adalah presiden pilihan rakyat.
Ya, mungkin saya paham. Bapak adalah politikus. Sesekali perlu membuat sensasi tentang isu yang sedang menjadi polemik di Indonesia. Bapak juga tentu tidak bermaksud menghina umat Buddha, karena unggahan tersebut bapak ambil dari akun orang lain.
Mungkin juga bapak tidak peduli dengan status mantan Menteri bapak yang seharusnya terhormat, bahkan mengabaikan implikasi sosial yang berasal dari jutaan pembaca medsos bapak.
Dan mungkin juga bapak tidak terlalu mengkhwatirkan amarah dari kaum minoritas Buddha, semacam diriku. Bagi kami, melatih kesabaran diri sendiri itu lebih utama daripada misuh-misuh cari sensasi.
Tapi...
Sejak zaman kemerdekaan, para pemimpin bangsa telah menyadari sebuah potensi bahaya laten. Warisan kolonialisme yang tidak akan lekang oleh waktu -- memecah belah bangsa. Menimbulkan dikotomi bahwa perbedaan itu adalah masalah besar.
Makanya, diciptakanlah Pancasila yang menjadi pilar ideologis negara Indonesia. Dan jelas tertera tulisan Bhinneka Tunggal Ika padanya - berbeda-beda tetapi tetap bersatu.
Meskipun diletakkan di kaki gambar Garuda, ideologi tersebut bukan untuk diinjak-injak, tetapi untuk dijadikan pijakan.
Sebagai bangsa Indonesia, sudah seharusnya kita menghargai visi para pendiri bangsa dengan lebih menghargai perbedaan.
Saat ini negara kita tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Bebas dari pandemi, masih ada urusan krisis ekonomi.
Jangan harap itu pekerjaan mudah, karena setiap generasi bangsa ini pasti akan menghadapi permasalahan yang berbeda-beda.
Tapi, itu bukan alasan untuk menyalahkan presiden. Karena pada akhirnya, presiden akan menjadi masa lalu. Presiden baru pun tak akan luput dari kesalahan. Tapi, bangsa Indonesia akan terus ada di bumi ini. Itu pasti. Â Â
Negeri ini bukanlah surga yang bebas dari penderitaan. Demikian pula di seluruh muka bumi ini.
Kendati demikian, setiap warga negara Indonesia berhak untuk menikmati surga dunia. Bangsa Indonesia berhak untuk menikmati ketenangan dan kedamaian. Jauh dari sikap bermusuhan, rasa benci, dan perpecahan.
Dan saya rasa bapak juga tentu mendambakan surga. Tidak perlulah menunggu hingga ajal menjelang, karena kematian itu mengerikan. Secara harafiah surga bisa diciptakan sekarang. Saat ini di bumi.
Cobalah undang para malaikat nirwana, mereka akan senantiasa mendampingi bapak. Menceritakan tentang akhlak yang seharusnya tercipta.
Cobalah bayangkan keadaan yang damai surgawi nanti, canda tawa bapak yang sering lepas akan terasa tanpa beban di sana. Karena di sana memang tidak ada ruang untuk saling menghina.
Cobalah mendekatkan diri pada penciptamu, berdoa agar bapak masih diberikan kesempatan lebih lama di dunia ini. Apapun keyakinan bapak, seharusnya kesempatan itu sudah sering bapak dengar semenjak masih orok.
Dan masih banyak lagi defenisi tentang surga yang sering kita dengar. Meskipun sebagian besar masih menjadi misteri. Tapi, yang pasti semua manusia adalah sama di mata Tuhan. Sayangnya hanya manusia saja yang sering mempermasalahkannya.
Ah, sudahlah. Bapak tentu lebih memahami diri sendiri. Jika aksi tersebut bapak anggap hanya sekadar guyonan, biarkanlah demikian yang terjadi. Sebagaimana yang aku pahami tentang diri bapak. Sebagai seseorang yang memiliki selera humor yang tidak biasa.
Salam,
Dari Acek Rudy yang bukan siapa-siapa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H