Carut marut masalah minyak goreng masih terjadi di negeri ini. Sudah empat bulan lamanya, sejak November 2021 hingga kini. Masalahnya hanya dua - Harga murah lalu barang menjadi langka. Atau harga mahal sekalian, lantas pasokan pun melimpah.
Pemerintah pun mendapat sorotan, khususnya kinerja Menteri Perdagangan yang dianggap kurang tanggap. Dianggap tidak mampu melawan sekelompok mafia minyak goreng.
Muhammad Lutfi selaku Menteri Perdagangan tidak mau kalah. Ia menolak tuduhan bahwa pemerintah tidak becus melawan mafia.
Ia mengatakan bahwa bersama Kepolisian RI, mereka telah mengantongi calon tersangka yang akan diumumkan hari ini, Senin 21 Maret 2022.
Menurut Lutfi, mafia adalah mereka yang menimbun minyak goreng, dan terbagi menjadi tiga kategori, yaitu;
1) Menjualnya kembali ke industri, 2) Melakukan pengemasan ulang (repacking), dan 3) Mengekspornya ke luar negeri.
Apakah mafia minyak goreng hanya mereka yang terlibat penimbunan? Jika iya, maka seharusnya carut marut minyak goreng hanya disebabkan oleh aksi penimbunan. Nyatanya tidak.
Polemik ini juga disebabkan oleh beberapa faktor lainnya. Dengan demikian, maka "mafia minyak goreng" seharusnya melibatkan seluruh stake holder yang terlibat di dalamnya.
1. Pelaku Industri Minyak Goreng
Sekitar 40% pasar minyak goreng di Indonesia dikuasai oleh beberapa merek besar. Â (sumber: kompas.com). Mereka menguasai industri kelapa sawit ini dari hulu ke hilir, mulai dari perkebunan, pengolahan CPO, hingga produk-produk turunannya, seperti margarin, minyak goreng, dan juga bio diesel yang kini lagi naik daun.
2. Kebijakan Terdahulu
Eksistensi ini juga tidak terlepas dari andil kebijakan terdahulu. Pengusaha minyak goreng harus memiliki 20 persen lahan sawit untuk mendukung produksi. (sumber: kompas.com)