Adalah Arung Palakka yang berinisiatif untuk mendamaikan tiga kerajaan besar ini. Untuk itu, ia mengawinkan dua kemenakannya, masing-masing dengan putri Raja Gowa dan Raja Luwuk di masa itu.
Ada yang menarik, tanah dari ketiga lokasi tersebut bukan saja berbeda. Tapi karakternya juga berbeda.
Tanah Tompo Tikka dari Luwu berwarna putih, Tanah Tamalate yang dibawa oleh Kerajaan Gowa berwarna merah kehitam-hitaman. Sementara Tanah Palakka di Kerajaan Bone berwarna kuning.
Setelah digabungkan, maka warna yang dihasilkan adalah jingga. Dalam Bahasa Bugis, warna tersebut disebut Bangkala. Jadilah Tanah tersebut bernama Bangkalae.
Menarik untuk melihat inisiasi perdamaian yang dilakukan oleh Arung Palakka. Sejak Perjanjian Bungaya pada 1667, Arung Palakka melakukan prinsip Tellu Cappa. Tellu berarti tiga, dan Cappa artinya ujung.
Tellu Cappa adalah Cappa Lila (ujung lidah), Cappa Kawali (ujung badik), dan Cappa Lamaraupe (ujung kemaluan).
Cappa Lali disimbolkan sebagai diplomasi, menjaga hubungan dengan azas saling menguntungkan. Cappa Kawali melambangkan perjuangan dalam perang.
Sementara Cappa Lamaraupe menandakan pernikahan politik. Strategi ini terbukti berhasil, karena sejak saat itu, tidak ada lagi peperangan antar ketiga Kerajaan Besar ini.
Sumur Masjid Al Hilal Katangka
Masjid Katangka adalah salah satu masjid tertua di Sulawesi Selatan, peninggalan Raja Gowa. Ada dua versi tentang tahun pembangunannya.
Yang pertama adalah pada 1603, pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV, I Mangarangi Daeng Manrabbia (1596-1639).
Raja yang bergelar Sultan Alauddin I ini adalah raja Gowa yang pertama kali menganut agama Islam. Pembangunan Masjid ini bersamaan dengan dijadikannya Islam sebagai agama resmi Kerajaan Gowa.