Tetiba saya baru saja merasa bodoh. Meninggalkan komentar pada artikel Kompasianer Samhudi Bhai. Isinya tentang perayaan imlek.
"Hai Mas Sam. Makasih ya telah menulis artikel ini. Izin ralat sedikit ya, Imlek bukan perayaan Umat Konghucu saja... [...]."
Saya bodoh, karena secara resmi imlek memang adalah hari raya umat agama Konghucu. Tidak bisa dipungkiri, sudah tertuang dalam Kepres No. 6/2000 pada tanggal 17 Januari 2000.
Tulisan ini tidak bermaksud membantah Kepres atau pun mendiskreditkan kelompok agama tertentu. Sejarahnya pun panjang. Pada era orde baru, perayaan imlek adalah hal yang dilarang untuk dilaksanakan di tempat umum.
Dianggap mewakili bahaya laten komunis, yang saat itu memang sedang carut-marutnya. Begitu juga dengan Konghucu, yang tidak dianggap sebagai agama.
Setelah Gus Dur menetapkan Imlek sebagai hari raya keagamaan Konghucu, dua tahun kemudian pemerintahan Megawati pun menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional. Melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002.
Namun, apakah kenyataanya memang demikian?
Seorang sahabat berkata jika gereja tempat ibadahnya telah dihiasi dengan pernak-pernik imlek. Lengkap dengan berbagai jenis aksara China dan juga gambar-gambar berwarna merah imlek.
Lantas Mesjid Cheng Ho di Makassar pun tak mau ketinggalan. Kita bisa melihat bagaimana umat muslim Tionghoa saling beramah-tamah, mengucapkan Gong Xi Fat Choi di sana.
Lebih dari itu, siapa pun tidak dilarang untuk merayakannya. Bukankah sekadar berbagi kue keranjang dan memberikan angpao juga namanya perayaan. Itu berlaku tanpa memandang suku, agama, dan ras.