Sementara Shinohara meninggal di tahun 2000. Ia terkena pneumonia parah. Paru-parunya hancur. Selama hidupnya, hanya rasa sakit yang ia derita. Ia tidak bisa berbicara dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis.
Tapi, pihak medis dan para peneliti tidak berfokus kepada Shinohara maupun Yukokawa. Seluruh perhatian terarahkan kepada Hishasi Ouchi, korban dengan paparan radiasi terbesar.
Perjuangan Hishasi Ouchi
Dampak radiasi yang dialami Ouchi menyebabkan DNA-nya hancur, dan sel darah putihnya tidak ada lagi. Akibatnya, luka di sekujur tubuhnya lama-kelamaan semakin parah. Kulitnya mengelupas dan berubah menjadi kehitaman. Rambutnya botak dan wajahnya tak dapat dikenali lagi.
Kejadian yang dialami oleh Ouchi tergolong sangat langka. Belum ada standar prosedur kesehatan tepat yang bisa diaplikasikan kepadanya. Namun, hal itulah yang membuat tim medis tidak mau menyerah begitu saja.
Penderitaan demi penderitaan Ouchi alami. Setelah pengobatan standar dilaluinya selama 59 hari, Ouchi meninggal selama 49 menit. Jantungnya berhenti berdetak selama tiga kali. Tapi, pihak rumah sakit terus berusaha. Mereka kembali menghidupkannya.
Langkah selanjutnya adalah memindahkan Ouchi ke RS. Universitas Tokyo. Berbagai percobaan pengobatan pun diberikan. Tenaga medis terbaik dari seluruh dunia diundang oleh pemerintah Jepang. Segala jenis obat-obatan terbaru diimpor dari seluruh penjuru dunia.
Ouchi menjadi pasien pertama yang menjalani transfusi sel induk perifer di dunia. Ia juga menjalani transpalantasi kulit hingga berkali-kali, meskipun pihak dokter tahu bahwa itu tidak akan banyak membantu.
Segala macam tindakan medis dibuat berlebihan. Transfusi darah yang melebihi standar, cairan medis hingga obat-obatan terbaru, semuanya masuk ke dalam tubuh Ouchi yang sekarat.
Semua dilakukan tanpa melihat lagi pertimbangan Ouchi, sang pasien. Hingga suatu waktu, di tengah kesadarannya Ouchi berkata,
"Saya sudah tidak tahan lagi, saya bukanlah kelinci percobaan..."