Perang itu akan menciptakan dualisme yang tak berkesudahan. Dua kubu yang saling bertentangan, hanya berujung kepada satu pemenang saja. Sejarah dicatat oleh para pemenang. Sementara kubu yang kalah akan selalu tercatat sebagai penjahat.
Nyatanya memang demikian. Adalah Hideki Tojo. Ia adalah orang yang paling berpengaruh di Jepang pada era Perang Dunia II. Seorang Jenderal Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dan sekaligus Perdana Menteri dari 1941-1944.
Di bawah komandonya, Kekaisaran Jepang Berjaya. Beberapa agresi yang lebih ekspansif pada sejumlah negara di Kawasan Pasifik dan Asia Tenggara, disebut sebagai perintahnya.
Begitu pula pemboman Pearl Harbour pada Desember 1941. Sebuah aksi yang memancing Amerika terlibat dalam Perang Dunia II.
Setelah itu, Jepang semakin ditakuti. Serentetan kemenangan membuat Tojo beserta petinggi militer lainnya merasa bak dewa. Dipuja, namun akhirnya menjadi takabur. Itulah yang terjadi.
Tojo mencanangkan serangan yang lebih besar lagi. Ia yakin jika Jepang bisa menguasai Australia, Selandia Baru, bahkan hingga ke Amerika Selatan dan Amerika Serikat.
Tapi, nasib berkata lain. Sekutu menunjukkan tajinya pada pertempuran Midway 1942. Begitu pula dengan kekalahan pada pertempuran Saipan, Laut Filipina, hingga Teluk Leyte. Semuanya terjadi pada tahun 1944.
Tojo dianggap gagal. Kaisar Hirohito tak lagi berpihak kepadanya. Jabatan Perdana Menteri pun diambil alih oleh Kuniaki Koiso. Tapi, efek Tojo tidak lantas berhenti. Kehilangan sebagian besar kekuatan perangnya, Jepang dipaksa untuk bertempur dengan sisa-sisa armada dan korps pasukan cadangan.
Lantas dijatuhkanlah bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Jepang menyatakan menyerah pada 15 Agustus 1945 dan ditandatangani pada 2 September 1945.
Pada 11 September 1945, Jenderal Besar pasukan sekutu, Douglas Mac-Arthur lantas menangkap Tojo. Ia dicap sebagai penjahat perang kelas kakap.