Sontak, sikap orang Tionghoa pun berubah. Endang dinilai berbudi luhur. Cap pengkhianat pun tidak lagi melekat padanya.
Pindah ke Jakarta
Pada 1948 Endang pindah ke Jakarta. Di sana ia bergabung dengan VBO Batavia dan melakoni sejumlah tur internasional ke Bangkok, Singapura, dan Hong Kong.
Rangkaian turnya membuat Endang dan beberapa kawannya menjadi pesohor. Adalah Tjoa Tjoen Bie, Ketua Perkumpulan Olahraga UMS yang kemudian menawarkan Endang bergabung dengan klub.
Sejak saat itu, nama Endang tercatat sebagai pemain. Hingga tahun 1956, ia menjadi pelatih menggantikan Karel Fatter yang kembali ke Hungaria.
Endang berhasil membawa UMS menjuarai kompetisi Persija 1955/1956 pada tahun pertamanya di UMS sebagai pelatih. Rekornya tanpa kalah.
Pelatih Indonesia Pertama yang Menerapkan 4-2-4
Pada tahun 1958, Endang berangkat ke Seattle, AS untuk melanjutkan kuliah dokter giginya. Ia dibiayai oleh seorang pengusaha asal Medan, TD Pardede.
Di Amerika ini, Endang tidak hanya memperdalam ilmu kedokteran giginya. Di sana ia juga menambah ilmu sepak bolanya dengan cara otodidak.
Endang tak henti-hentinya berburu buku dan majalah sepak bola. Hingga ia menemukan rahasia sukses sepak bola Brazil. Pola permainan 4-2-4 yang menjadi kunci kemenangan Brazil pada Piala Dunia 1958.
Endang pulang ke Indonesia pada tahun 1959. Kembali melanjutkan karirnya sebagai pelatih. Sukses dengan UMS, pada musim 1963/1964, Endang berhasil membawa Persija menjuarai Piala Perserikatan.
Yang lebih fenomenal lagi, Endang adalah orang Indonesia pertama yang menerapkan sistim format play 4-2-4 yang masih dianggap aneh pada zamannya.
Menjadi Pelatih Timnas Indonesia
Endang kemudian terpilih menjadi pelatih Timnas Indonesia pada 1966. Di tahun yang sama ia menggondol Piala Aga Khan di Pakistan, yang merupakan cikal bakal AFF Cup.