Sementara tulisan Acek zonder. Semuanya ditulis, bak orang rakus yang ingin berpesta pora setiap hari.
Tahu sebabnya? Mengejar target one day one article. Tidak mudah untuk menulis artikel dari hasil pemikiran sendiri.
Memang sih, gaya penulisan diubah, teknik paraphrase juga diizinkan, sedikit opini konyol menyertai untuk menambah garam dari masakan yang sudah tersedia di atas meja.
Ide? Nun jauh di sana ada yang namanya dunia maya. Mau tahu apa-apa cukup klik beberapa.
Bahkan ilmu angka yang kukuasai juga sebenarnya bukan origaniltasku. Ilmu ini sudah ada. Acek belajar secara otodidak dari puluhan buku terbitan luar negeri. Aneh di Indonesia, tapi sudah umum di sono.
Jadinya, Acek sedih. Menjadi Kompasianer yang nulisnya bukan yang "asli." Apalagi para Tante seringkali pula membisiki Acek.
Kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas... kas...
Kasihan loe...
Tapi, sebenarnya tidak juga sih. Ada juga ide original Acek. Itu setelah sekian lama bergaul di dunia tanpa batas ini. Mendapat pencerahan dari para sesepuh Kompasianer.
Bak murid silat yang tetiba bertemu dengan guru hebat. Jurus Shaolin digabung dengan rahasia Bu Tong Pai. Golok Pembunuh Naga ditempa dengan batu meteor.
Nah, pada titik inilah Acek menemukan ciri khas origaniltasnya. Menjadi penulis hebat tanpa contekan. Semuanya ditulis dari hati yang paling dalam dengan jiwa yang penuh daleman.