Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Kemurahan Hati Sang Kakek yang Salah Kaprah

12 November 2021   19:15 Diperbarui: 12 November 2021   19:16 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Kemurahan Hati Sang Kakek yang Salah Sasaran (Sumber: imgflip.com)

Alkisah seorang kakek pemilik kebun apel. Ia hidup bersama istri tercintanya.

Sang kakek terkenal dengan perangainya yang tak ramah. Kemana-mana ia selalu membawa pentungan. Tersebab apel di kebunnya memang tumbuh subur. Buahnya menjuntai, merah warnanya, menggoda siapa pun yang melintasinya.

Di dekat kebun sang kakek, ada sebuah lahan kosong. Di sana anak-anak kampung ramai berkumpul setiap sore untuk bermain bola. Jalan menuju ke sana dari desa, harus melalui trek yang melintasi kebun sang kakek.

Oleh karenanya, apel-apel sang kakek sering menjadi sasaran pencurian. Sang kakek yang pemarah ini pun kerjanya marah-marah. Setiap sore ia duduk dibatas depan antara kebun dan jalan menuju lapangan kosong.

Pada saat anak-anak melintas, ia selalu memperlihatkan muka garangnya dan tongkatnya yang panjang. Jelas, anak-anak kampung tidak berani macam-macam.

Hal yang sama terus ia lakukan selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya sang kakek sadar. Ia tidak lagi memiliki sahabat. Bukan hanya anak-anak kampung yang takut padanya, tapi para orangtua juga menyadarinya.

Pada suatu petang, sang kakek merenung. Apakah memang ia terlalu kasar dan pelit? Jika anak-anak kampun mengambil buah apelnya selusin dua lusin, apel di kebunnya tidak akan juga kekurangan.

Akhirnya sang kakek ini mulai insaf. Ia ingin berubah, meski hanya sehari saja. Dicarilah suatu waktu dimana sang kakek bertekad untuk memberikan apelnya dengan gratis.

Ia tetap berada di lokasi yang sama tempat ia biasa menunggu anak-anak kampung melintas. Tapi, kali ini ia bersembunyi di belakang semak-semak. Diam tak bergerak bak patung.

Sewaktu anak-anak melintas, mereka heran. Dimanakah gerangan sang kakek? Penasaran, satu demi satu menghentikan langkahnya. Mencoba mencari tahu dimanakah keberadaan sang kakek yang tak pernah absen berjaga.

Setelah memastikan bahwa sang kakek memang tidak berada di sana, salah satu dari rombongan anak tersebut mulai mengambil buah-buah apel yang terjuntai. Diikuti kemudian oleh anak-anak lainnya.

Ajaibnya, sang kakek yang bersembunyi tidak marah. Ia bahkan terkekeh-kekeh melihat anak-anak kecil mencuri apelnya. Hatinya senang bukan kepalang.

Setelah anak-anak pergi, sang kakek dengan hati berbahagia lari menuju ke rumahnya. Dicarinya nenek yang sedang memasak makan malam. Dengan bangga sang kakek berkata;

"Hari ini aku senang, aku membiarkan anak-anak kampung itu mencuri buah apel kita, hahaha..." ujar sang kakek sambil terbahak-bahak.

Di luar dugaan, nenek justru tidak senang. Ia malahan marah kepada sang kakek.

"Kamu salah, saya lebih senang jika kamu menjaga kebun kita agar buahnya tidak dicuri," sungut sang nenek.

"Lho, kenapa? Bukankah diriku telah berubah? Yang aku lakukan adalah bentuk kemurahan hatiku," balas sang kakek tidak terima.

"Benar," lanjut sang nenek.

"Tapi, aksi kamu membiarkan mereka mencuri, justru tidak bagus. Kamu telah menjeremuskan mereka dalam tindakan dosa. Kamu melakukan pembiaran, dan itu lebih jahat dari mencuri sendiri," pungkas sang nenek.

Kakek terdiam, dan berpikir. Apa yang dikatakan oleh istrinya, tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Ternyata memang benar, sang kakek telah berubah dengan cara menjadi orang yang lebih bermurah hati.

Namun, caranya salah. Mengapa demikian, karena kemurahan hati sang kakek tidak dibarengi dengan kemurahan jiwanya. Ia memang merelakan buah apel diambil oleh anak-anak. Tapi, ada hal yang lebih penting yang lupa ia relakan.

Yakni, egonya.

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun