Setelah memastikan bahwa sang kakek memang tidak berada di sana, salah satu dari rombongan anak tersebut mulai mengambil buah-buah apel yang terjuntai. Diikuti kemudian oleh anak-anak lainnya.
Ajaibnya, sang kakek yang bersembunyi tidak marah. Ia bahkan terkekeh-kekeh melihat anak-anak kecil mencuri apelnya. Hatinya senang bukan kepalang.
Setelah anak-anak pergi, sang kakek dengan hati berbahagia lari menuju ke rumahnya. Dicarinya nenek yang sedang memasak makan malam. Dengan bangga sang kakek berkata;
"Hari ini aku senang, aku membiarkan anak-anak kampung itu mencuri buah apel kita, hahaha..." ujar sang kakek sambil terbahak-bahak.
Di luar dugaan, nenek justru tidak senang. Ia malahan marah kepada sang kakek.
"Kamu salah, saya lebih senang jika kamu menjaga kebun kita agar buahnya tidak dicuri," sungut sang nenek.
"Lho, kenapa? Bukankah diriku telah berubah? Yang aku lakukan adalah bentuk kemurahan hatiku," balas sang kakek tidak terima.
"Benar," lanjut sang nenek.
"Tapi, aksi kamu membiarkan mereka mencuri, justru tidak bagus. Kamu telah menjeremuskan mereka dalam tindakan dosa. Kamu melakukan pembiaran, dan itu lebih jahat dari mencuri sendiri,"Â pungkas sang nenek.
Kakek terdiam, dan berpikir. Apa yang dikatakan oleh istrinya, tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Ternyata memang benar, sang kakek telah berubah dengan cara menjadi orang yang lebih bermurah hati.
Namun, caranya salah. Mengapa demikian, karena kemurahan hati sang kakek tidak dibarengi dengan kemurahan jiwanya. Ia memang merelakan buah apel diambil oleh anak-anak. Tapi, ada hal yang lebih penting yang lupa ia relakan.