Jelas fenomena WA (Whatsapp) tenggelam tidak pernah Anda dengar. Atau mungkin juga iya, namun secara sporadis saja. Istilah ini juga saya temukan secara tiba-tiba.
Alkisah seorang kawan menelponku, menanyakan tentang pertanyaan yang belum sempat aku jawab. Lebih tepatnya belum sempat aku baca. Setelah disampaikan ulang, saya pun mencari deretan chat WA yang belum sempat kubuka.
Astaga, nama kawan saya masih berlingkar hijau. Alias chat-nya belum kubaca. Bukan hanya itu, ada pula dua chat kawan lainnya yang punya nasib yang sama.
Ketika saya menelponnya ulang, perkataan saya kira-kira demikian, "Wah, maaf bro, WA kamu... (berpikir sejenak), "tenggelam." Sebuah istilah yang muncul entah darimana, mungkin gegara diriku telah menjadi Kompasianer. Rajin menciptakan kata-kalimat.
Kendati terasa pening, seharusnya fenomena ini tidak asing. Siapa pun pernah mengalaminya.
Lantas kenapa bisa?
Yang pertama, jejaring sosial WA sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Setiap orang menggunakannya, dari kerja hingga keperluan bercanda.
Nah, pada saat sedang serius. Ada WA yang terasa "kurang penting." Lantas hati berkata, "nanti dulu." Akibatnya, semakin banyak yang belum diladeni, semakin banyak yang tenggelam.
Ini belum termasuk grup WA di gawai. Berjubel jumlahnya. Percakapannya berlanjut, gak diikuti, sayang. Meskipun sekadar gosip, tapi lumayan buat insight, "si otong selingkuh ama siapa tuh?"
Waktu yang semakin lama semakin tercurahkan di gawai, membuat kita harus memilih. First come first atau First thing first.
Apakah fenomena WA tenggelam ini penting?
Kejadian dengan kawan yang saya sebutkan di atas, hanyalah segelintir contoh saja. Dulu saya pernah kehilangan momentum dapat harga murah, tersebab supplier yang mengirimkanku pesan tidak dibalas.
Saya pun sering jengkel ketika di tengah malam, sahabat membalas chatku, "sorry bro, baru saya lihat ini (kiriman pesananku)."
Oke, apa yang bisa dilakukan?
Disiplin, menjadi kata kunci. Setiap pesan memang harus dibalas, kecuali nomor tak dikenal yang menawarkan pinjol. Tapi, disiplin memang susah. Apalagi jika memerlukan waktu untuk memikirkan jawabannya, seperti pertanyaan, "apa kabar?" atau pernyataan, "bro..." (lalu diam untuk waktu lama).
First Thing First
Pesan WA yang penting harus dibaca, apalagi dari jalur pribadi. Pasti ada urgensinya. Itu dengan mudah dijawab. Namun, masalah kembali muncul jika sang pengirim hanya ingin bersenda-gurau saja. Aih, pucing!
Menjawab dengan sopan lebih baik, daripada apa adanya; "ya baik-baik saja, tapi ntar aku jawab ya, soalnya sedang bla bla bla." Kasus berikutnya, aih WA tenggelam lagi. Tapi, tidak apa-apa, paling tidak yang di seberang paham jika kita sedang sibuk.
Pesan yang bersifat biasa tapi melalui jalur pribadi harus dibaca. Meskipun ujung-ujungnya pinjol, jangan dulu berburuk sangka.
Seperti kemarin, saya baru menerima pesan dari nomor yang belum disave. Isinya ternyata dari optik. Disampaikan bahwa kacamata baruku telah selesai. Bayangkan jika tidak kubaca.
Soal buruk sangka ini juga bisa bikin WA tenggelam lebih dalam. Tetiba seorang kawan yang diketahui nasibnya sedang tidak baik. "Apa kabar, bro," kadang terbaca, "bisa minta tolong?" Aih...
Pikir positif, jawab saja apa adanya. Toh, jika ia mengajukan permohonan yang susah kita penuhi, tetap saja membalas dengan sopan dan jujur.
First Comes First
Terkait grup WA yang seabrek-abrek. Saya sendiri selalu membaca yang wajib. Misalkan grup perusahaan, atau grup yang sedang aktif (proyek). Tapi, kalau grup santai-santai, ada waktunya. Bacalah di waktu senggang.
Masalahnya, grup semacam itu selalu menyisakan ratusan jejak yang bikin kepala mumet membacanya. Muncullah sapaan ala-ala;
"Metpagi Manteman, selamat AU yang AU ya."Â Aih, maapkanlah Acek.
Itulah deretan rahasia pribadiku dalam bercengkrama dengan WA. Tapi, masih ada lagi.
Kata engkong yang bukan Felix, grup WA yang banyak memang bikin pusing. Tapi, sesekali sapalah mereka, biar mereka tahu jika kamu masih sehat, dan belum mati.
Benar juga sih, tapi apa daya? Sejujurnya grup WA Acek sendiri sudah memiliki kastanya masing-masing. Ada yang penting, setengah penting, penting tidak penting, dan tidak penting. Untuk istilah ini, jangan ditanggapi. Pokoknya kalian pasti tahu maksud saya.
Untuk itu, cara yang terbaik adalah; Pamit dari grup yang terasa memberatkan.
Memang sakit, tapi tidaklah keji. Coba kalian perhatikan, berapa banyak orang yang sama pada grup berbeda. Istilah Kompasianer Mba Widz Stoop, 4L, "Lu lagi, Lu lagi."
Pamit dengan sopan. Pasti dipahami. "Acek Left" seharusnya tidak mengurangi kebahagiaan anggota grup lainnya.
Jika ada yang tidak bisa "dileft" gegara ada mantan dan istri di dalam. Yo wis, terima saja nasibmu sebagai SSTISM (suami-suami takut istri sayang mantan). Tapi, tetap mengusahakan membacanya, siapa tahu ada gosip tentang dirimu yang butuh penjelasan ke beib tercinta. Eh...
Lantas langkah berikutnya adalah menggunakan fitur "unread" pada WA yang belum sempat dijawab. Setelah itu, di waktu senggang pastikan jejarimu bertindak sebagai penjaga pantai yang senantiasa sigap menolong chat yang kelelep. Meskipun subuh, paling tidak ia masih hidup.
Cukuplah sampai disini. Ntar rahasia Acek semakin banyak terbongkar. Namun, ternyata setelah Acek sadari, grup perpesanan yang paling aktif di gawai, adalah grup para penulis Kompasianer.
Salut! Itu menandakan bahwa para Kompasianer tidak pernah tertidur. Aktif selalu setiap saat, menulis di gawai dan tulisannya membuai. Sesekali membangkitkan birahi. Eh...
Tapi, itulah faktanya, oleh sebab itu;
"Metpagi Manteman, selamat AU yang AU ya,"Â menjadi jargon Acek di grup perpesanan.
Namun, tidak selamanya juga sapaannya sama. Terkadang chatnya bisa berlangsung berjam-jam, terutama jika Mimin digosipin atau Engkong Felix keciprat susu sapi jantan. HA HA HA HA HA HA HA HA... (Kurang panjang).
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H