Apa yang terjadi?
Sumpah Pemuda dengan mudah dituding sebagai pelenyap penggunaan bahasa Belanda dari Indonesia. Salah satu frasanya adalah "berbahasa satoe, bahasa Indonesia." Dengan demikian, alasan nasionalisme kemudian menyasar bahasa Belanda untuk segera dienyahkan dari bumi Nusantara.
Nyatanya tidak, Soekarno setelah menjadi Presiden RI masih sering berbahasa Belanda dalam percakapan sehari-harinya. Begitu pula dengan para bapak pendiri bangsa lainnya.Â
Jadi, bahasa Belanda di zaman sebelum kemerdekaan tiada bedanya dengan bahasa Inggris. Dianggap keren, meskipun kurang nasionalis. Kaum intelektual kita sepertinya lebih memahami bahasa Belanda dengan lebih terstruktur ketimbang bahasa Indonesia yang baru saja "lahir."
Namun, tetap saja ini tidak menjelaskan mengapa bahasa Belanda bisa langsung lenyap secara ekstrim dari Indonesia.Â
Apa sih masalahnya?
Menurut Bennedict Anderson, pakar nasionalisme Belanda, disebutkan bahwa Indonesia merupakan satu-satunya jajahan di dunia yang tidak diperintah untuk menggunakan bahasa Belanda. Sebab menurutnya, pemerintah Belanda tidak pernah merasa menjajah negara kita. Adalah VOC yang disuruh mengurusinya. (sumber 1).
Nah, karena VOC adalah kongsi dagang, maka prinsip untung sebesar-besarnya, biaya sekecil-kecilnya menjadi "sesuatu" di sini. Jangankan mengajar bahasa Belanda, bangun sekolah saja ogah.
Membuat bahasa Belanda sebagai bahasa nasional ongkosnya mahal. Lebih murah bagi VOC untuk mewajibkan seluruh pegawainya untuk belajar bahasa Melayu atau bahasa lokal setiap daerah koloninya.
Ketika VOC bangkrut, barulah negara mengambil alih Hindia Timur. Itu terjadi pada akhir abad ke-18. Namun, politik bahasa VOC tetap dilanjutkan. Belanda tidak memiliki idealisme panjang terhadap Indonesia. Tidak seperti Inggris yang menjadikan daerah koloninya sebagai negara persemakmuran.
Bahasa Belanda tidak disebarkan, karena itu pilihan yang lebih murah. Jadilah bahasa bangsa kita terpecah. Kaum penjajah wajib belajar bahasa Melayu dan Jawa. Pendidikannya ada di Universitas Leiden, Belanda. Bercampur dengan pengetahuan adat budaya Nusantara, jurusan yang dimaksud bernama Indologie.