Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Peristiwa Ketapang Berdarah, Pemicu Konflik SARA di Ambon

17 Oktober 2021   07:00 Diperbarui: 17 Oktober 2021   07:03 10640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Kerusuhan Ketapang (fotografer James Nacthwey, sumber: vice.com, kurio.id)

May 1998 adalah tonggak awal reformasi. Lengsernya Soeharto telah didahului oleh peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti dan kerusuhan etnis di seantero Jakarta.

Warga Tionghoa jadi sasaran. Mereka jadi korban kerusuhan rasial. Belum juga selesai, sebuah peristiwa "kecil" pun terjadi di daerah Ketapang, Jakarta Barat.

Semuanya bermula dari jalan Zainul Arifin. Saat itu seorang preman Ambon, penjaga rumah judi terlibat adu mulut dengan warga yang melintas. Masalahnya sepele, hanya masalah adu pandang yang menjadi adu tantang.

Pertikaian sempat berlanjut, namun berhasil didamaikan oleh pertugas RT setempat. Sekitar pukul 3 pagi, situasi pun mereda. Seharusnya tidak menjadi masalah besar.

Namun, isu merebak dengan cepat. Apa yang seharusnya sepele telah berubah menjadi konflik agama dan ras. Berita yang beredar, mesjid di sekitar sana diserang dan dirusak oleh ratusan preman Ambon. Dan mereka beragama Kristen.

Takada yang tahu siapa provokatornya. Dugaannya banyak. Ada yang bilang bahwa aktor intelektual bermain. Tapi, ada juga yang menduga jika isu tersebut akibat rebutan lahan pengamanan saja.

Apa pun teorinya, sudah tidak relevan lagi. Tanggal 22-23 November 1998 menjadi malam yang paling berdarah bagi warga keturunan Ambon di Jakarta.

Berita dengan cepat menyebar dan menyulut solidaritas muslim di Jakarta. Pengeras-pengeras suara di masjid bahkan dijadikan corong untuk membangun pertahanan sekaligus serangan.

Para warga berkumpul di berbagai titik di Jakarta, membawa senjata tajam dan mengejar-ngejar orang-orang berwajah Timur yang dianggap preman.

James Nachtwey, seorang fotografer profesional mengisahkan pengalamannya. Dikutip dari sumber (1). Ia berada di jalan Gajah Mada bersama Dwi Abiyantoro (Abi), asistennya.

Dari arah Tanah Abang segerombolan orang membawa golok. Bersamaan dengan itu dari arah kota datang pula gerombolan lainnya. Sekelompok orang dikejar-kejar melarikan diri dan bersembunyi di tempat yang tak kelihatan.

Lalu, suasana berubah tragis ketika seorang anak yang sedang bersepeda berteriak, "ada orang di got!"

Sontak massa kalang kabut. Orang yang tak berdaya itu dicincang bak binatang. Ada sekitar 10 orang dan wajah mereka keturunan Ambon. Tidak ada rasa kasihan sama sekali.

Berkali-kali Nachtwey dan Abi terjebak di antara kerumunan massa. Mereka menjadi saksi pembantaian. Sujud sembah mereka kepada penyerang agar mengasihani korban, tidak digubris sama sekali.

Selama dua hari, Nachtwey mengabadikan semua peristiwa tragis dalam kerusuhan. Khususnya yang berdarah-darah. Selang beberapa bulan kemudian, ia mendapat penghargaan atas foto-foto ikoniknya dari World Press Photo.

Selama dua hari, bukan hanya korban nyawa. Kerusuhan dalam skala besar juga merambah ke gereja dan sekolah Kristen. Semua terjadi secara sporadis atas nama kehormatan.

Atas nama "Kehormatan" pun berlanjut menjadi aksi sweeping. Wajah timur, rambut keriting, kulit gelap yang tidak tahu menahu tentang Ketapang pun tewas dihajar massa yang tak terkendali.

Dengan cepat berita menyebar ke Ambon. Sebagian dari kisah nyata para pengungsi, namun lebih banyak yang parsial. Dikemas jadi satu, hanya emosi yang tersulut.

Pada Desember 1998, Tanah Maluku tidak lagi damai. Kota Ambon terbelah dua. Daerah Islam dan Kristen. Orang Ambon Islam merasa dizolimi, melakukan perlawanan sengit.

Lebih dari 1000 nyawa melayang akibat konflik komunal yang terjadi. Masyarakat setempat memilih mengungsi, sendi perekonomian lumpuh total.

Berty Loupati dan Agus Wattimena adalah dua pemimpin yang disegani di Ambon. Mereka adalah pendekar yang mencetuskan peperangan. Satunya membela Islam, satu lagi atas nama gereja. Episode kehormatan di Ketapang pun berlanjut.

Nama besar yang ditakuti di Jakarta lantas turun gunung. Ongen Sangaji, Sadrakh Mustamu, dan Milton Matuanakotta memenuhi panggilan ibu pertiwi. Para preman ini kembali ke Ambon dengan satu tujuan -- balas dendam.

Pada saat yang bersamaan, seruan berjihad pun diserukan, ribuan laskar datang dari mana-mana. Anak buah Agus Watimenna pun bersiap-siap. Pasukan dibentuk dengan senjata rakitan dan bekal bela diri.

Namun, Agus tewas dalam konflik. Berty Loupati menembaknya dari jarak dekat. Dua peluru disarankan di kepalanya.

Agus bukan hanya pemimpin, ia disayangi dan disegani. Ribuan warga Ambon turun ke jalan, memperingati kematian sang martir. Bukan hanya di Ambon saja, di Jakarta pun demikian. Sejumlah artis terkenal asal Maluku juga turut hadir. Broery Pesolima hingga Yopie Latul.

Balas dendam takada habisnya, kematian Agus semakin memperkeruh kebencian antara dua kubu. Pulau Maluku semakin parah, peperangan sipil terjadi di mana-mana. Aparat hukum dan militer pun tak berdaya.

Kejadian di Ketapang tidak hanya merembes ke Ambon saja. Pada saat yang sama, di Timor Timur, ratusan warga membakar beberapa masjid di sana. Di Poso pun demikian, rentetan kekerasan terjadi. Kelompok yang bertikai kemudian menjadi awal mula terbentuknya sel-sel teroris. Bahkan ketika konflik telah berhasil diredakan, sayap-sayap jihad masih sayup-sayup terdengar.

Pada saat yang sama, rakyat provinsi Timor Timur pun mulai gerah. Mereka ingin merdeka dari Indonesia. Referendum pun dibuat, dan terbentuklah negara baru, Timor Leste.

Untungnya Indonesia tidak sampai terpecah. Program desentralisasi dan otonomi khusus bagi daerah menjadi penyelamat.

Pertikaian di Ambon berakhir 3 tahun kemudian. Tepatnya pada tahun 2002 melalui Perjanjian Malino yang diprakarsai oleh Jusuf Kalla yang saat itu menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat di era Megawati.

Siapa pun akan sulit menerima, Ambon sebelum kejadian adalah tanah yang damai. Kebersamaan dalam tepo seliro telah menjadi kearifan lokal sejak berabad-abad lamanya.

Adat istiadat Pela Gandong adalah dasar toleransi masyarakat lokal. Kristen dan Islam bukanlah perbedaan. Hingga kini, dan seharusnya memang begini.

Referensi: 1 2 

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun