Jakarta dulunya sempat punya Casino. Legal pula. Tepatnya saat Ali Sadikin ditunjuk oleh Soekarno sebagai pengganti Soemarno Sosroatmodjo. Prioritas utama Ali Sadikin adalah membangun Jakarta menjadi ibu kota Modern dan Gemerlap.
Namun, semuanya hanya ilusi. Kenyataannya, APBD Jakarta hanya 66 juta rupiah saja. Hanya cukup untuk bayar gaji pegawai. Ali kemudian membuat terobosan.
Harus ada sumber penghasilan pajak yang lebih gencar. Ekstensifikasi dan Intensifikasi pun dilakukan. Pengusaha yang tidak membayar pajak jadi sasaran. Terutama cukong yang bermain liar. Salah satunya adalah perjudian dan prostitusi gelap yang marak di tengah Jakarta.
Daripada dibagi ke pejabat korup dan preman, mending sekalian diambil negara. Dasarnya adalah UU Nomor 11 Tahun 1959 tentang Peraturan Pajak Daerah. Judi dilegalkan sejak dulu, namun hanya Ali Sadikin yang berani eksekusi!
"Saya berani demi keperluan rakyat Jakarta," pungkas Ali Sadikin dikutip dari Biografinya, Demi Jakarta 1966-1967.
Hasilnya? Jakarta kaya dan pembangunan daerah berjalan lancar. Kendati hambatan tetap datang dari personel militer dan kaum Islam Politik. Setelah melewati beberapa tahun pro-kontra, barulah pada tahun 1974 perjudian pelan-pelan dibatasi hingga akhirnya benar-benar dihapus.
Lantas di manakah sisa gemerlap Jakarta zaman dulu?
Hailai, Ancol. Gedung ini sangat ikonik. Apalagi pada tahun 70an. Sejak 1971, campur tangan Raja Judi Macau, Stanley Ho hadir di sana. Ia bekerja sama dengan PT. Pembangunan Jaya, milik almarhum Ciputra. Dua nama ini sudah bisa memberikan bayangan bagaimana gemerlapnya Hailai zaman dulu.
Baca juga:Â Rahasia Stanley Ho, Raja Judi Makau. Dari Kasino di Korut hingga Makelar Saddam Husein
Awalnya saya mengira jika nama Hailai berasal dari bahasa Tionghoa. Nyatanya tidak. Hailai dulunya adalah hiburan malam yang terkenal dengan olahraga adu lempar bola cepatnya. Namanya Jai Alai, dan digemari oleh orang-orang Spanyol.