WHO kemudian mengambil langkah cepat. Pemberian nama virus tidak boleh berhubungan dengan sesuatu yang bisa menimbulkan stigma. Baik terhadap negara, kota, atau kelompok tertentu.
Namun, Covid-19 ini bermutasi. Untungnya ada sistem penamaan yang dikembangkan ICTV, sehingga tidak terlalu sulit memberikannya nama.
Tapi, langkah ini tidak berjalan mulus. Tersebab masyarakat awam juga harus tahu tentang eksistensi kemunculan varian baru. Nama seperti B.1501, P2, 501Y, lebih mirip kode daripada nama.
Akhirnya, stigma pun kembali muncul. Ada empat virus corona yang dianggap menghwatirkan. Publik pun menamakan mereka (kembali) dengan varian Inggris, Afrika Selatan, Brazil, dan India.
Jalan tengah pun diambil. WHO dan ICTV pun menyetujui menggunakan nama yang mudah diingat, tapi tidak umum digunakan. Nama alfabet Yunani pun digunakan.
Sejauh ini sudah ada 12 nama yang digunakan, yakni; Alfa, Beta, Gamma, Delta, Epsilon, Zeta, Eta, Teta, Iota, Kappa, Lambda, dan terakhir Mu.
Urutan selanjutnya adalah Nu, Xi, Omikron, Pai, Ro, Sigma, Tau, Upsilon, Fi, Khi, Psi, dan Omega.
Proses pemberian nama ini tidak berlangsung begitu saja. Sebelumnya melibatkan para ahli dari berbagai bidang di seluruh dunia. Tercatat ahli linguistik, psikolog, ahli nomenklatur, peneliti, dan juga otoritas pemerintah.
Banyak ide yang muncul, namun semuanya ditolak. Seperti dewa-dewi Yunani, ditolak karena sudah banyak digunakan sebagai merek dagang. Nama penemu varian juga pernah diusulkan, tapi terlalu personal.
Lantas singkatan dari Variant of Concern, VOC1, VOC2, dll juga pernah diusulkan. Namun, ditolak karena kedengarannya mirip kata makian dalam bahasa Inggris (F**k).
Tidak semua varian yang diberikan nama. Hanya terhadap beberapa varian yang dianggap berpotensi membahayakan. Artinya, mutasi virus Corona ini sebenarnya jauh lebih banyak dari hanya sebelas yang sudah memiliki nama.