Konon Soto, Tauto, dan Coto berasal dari China. Disebutkan pula jika nama asli dari masakan tersebut adalah Chao-do, Chau-tu, atau Jau-to. Semuanya sama, dalam dialek Hokkien artinya jeroan dengan rempah-rempah.
Dengan kata lain, Chao-do dan sejenisnya adalah masakan Hokkien.
Nah, saya kebetulan bersuku Hokkien (Fujian). Jadilah saya bertanya kepada ayah bunda mengenai masakan Chao-do yang telah menjadi ilham soto se-nusantara. Mengejutkan, karena mereka tidak pernah mendengarkannya.
Sebenarnya hal ini sudah bisa saya duga. Tersebab ketika kita mengetik kata Chao-do, Chau-tu, atau Jau-to pada laman google, maka tidak ada sedikitpun penjelasan terhadap masakan tersebut. Yang muncul hanyalah informasi bahwa soto berasal dari masakan china bernama Chao-do.
Berbeda jika kita mencari masakan China lainnya yang terkenal, seperti siomai, wonton, atau pun ca-kue. Informasinya berjubel, dalam multi bahasa pula.
Agak mencurigakan, tersebab sesuatu yang terkenal seharusnya masih menyimpan jejak hingga kini. Tapi, nenek soto ini sama sekali tak meninggalkan bekas.
Untuk itu, marilah kita menilik sejarah.
Kuliner Indonesia memang menganut faham multikulturalisme. Meskipun kita tahu beberapa jenis masakan yang "asli" Indonesia, pengaruh budaya lainnya juga tetap kental terasa.
Menurut catatan, soto pertama kali ditemukan di daerah pantura, pada abad ke-19 Masehi. Bentuknya adalah makanan berkuah dengan isi daging atau jeroan.
Denys Lombard mendukung sejarah ini. Ia menulis dalam bukunya; Nusa Jawa 2: Silang Budaya Jaringan Asia (1996) bahwa pada masa itu, para imigran China sudah banyak ditemukan membaur di pesisir Jawa.