Raja menyukainya, dan sejak saat itu coto resmi masuk dalam deretan masakan para anggota kerajaan dan bangsawan Gowa.
**
Sampai di sini, masihkah kita menganggap coto adalah soto yang kehilangan "s"? Tidak sobat, coto adalah coto, dan soto adalah soto. Tidak sama dan tidak bisa disamakan.
Dengan demikian jelas! Coto bukanlah soto.
Oh ya satu lagi, jika ternyata memang sajian makanan berkuah berasal dari ide makanan Chao-to, maka secara etimologi, telinga orang Makassar lebih peka terhadap dialek China. Kata Chao-to jelas lebih mirip Coto, daripada Soto.
Dan yang lebih penting, melihat perbedaan usia eksistensi di antara keduanya, bisa saja soto adalah mutasi dari coto.
Lantas mengapa namanya bisa menjadi (s)oto?
Karena jika Cotho, maka kasusnya akan sama dengan pengalaman Kompasianer Susy Haryawan.
Suatu waktu ia sedang lapar. Ingin masak, tetapi bahan makanan pas habis. Lantas datanglah Mba Siti Nazarotin yang baik hati. Ia berjanji untuk mengirim makanan buat Om Susy.
Setelah ditunggu berjam-jam lamanya, makanan yang dijanjikan pun tiba. Tapi, tidak bisa dimakan, sebabnya dalam bentuk virtual. "Jan cotho nek ngene."