Apa yang terjadi jika sekumpulan kutu buku mengikuti kejuaraan sepak bola? Itulah yang terjadi pada diriku sewaktu masih duduk di bangku SMA
Kelas II Fisika sudah tidak mungkin juara. Mana ada "anak pintar" yang jago main bola? Begitulah kira-kira.
Tapi, menjadi juara memang bukan tujuan mengikuti laga. Adalah kostum yang lebih penting dalam penyelenggaraan even akbar itu.
Di zaman bapakmu, kostum sepakbola belum dijual di toko-toko olahraga. Semuanya harus dijahit, mahal pula. Akhirnya para pemain sepak bola menyiapkannya sendiri-sendiri.
Bagi kelas II Fisika, tidak terlalu susah. Warna putih telah disepakati. Jadilah oblong bekas kakek, hingga kaos produk iklan jadi pilihan. Yang penting seragam.
Kelihatan lucu? Iya sih.
Namun, siapa yang menyangka jika apa yang dialami oleh tim kelas kami juga pernah dilalui oleh sebagian tim besar sepak bola dunia.
Adalah Queen's Park Rangers (QPR). Zaman dulu, mereka masih amatiran, tapi sudah memiliki prinsip yang kuat. Sponsor dilarang karena sepak bola dianggap sebagai sesuatu yang terhormat. Â
Para pemain harus mengusahakan kostumnnya sendiri-sendiri. Repotnya, pihak manajemen tegas meminta motif garis horizontal biru.
Ditambah lagi, pada abad ke-19 belum ada toko yang menjual seragam sepak bola. Akibatnya, pemain tampil dengan keberagaman garis biru putih versi masing-masing.