Latisha Rosabelle kini bisa tersenyum lebar. Usahanya selama hampir 5 tahun telah membuahkan hasil menggembirakan. Kepala Staf TNI AD Jenderal Andika Perkasa telah menanggapinya dengan sebuah pengumuman.
Dalam aturan terbaru pemeriksaan kesehatan Calon Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad), tes keperawanan resmi dihapus.
Latisha merasa "terganggu" dengan aturan ini setelah ia urung mendaftarkan diri menjadi Kowad. Menurutnya, aturan ini bukan hanya sekedar aturan. Tapi memiliki dampak sosial, psikologi, dan juga ketidakadilan.
Wanita yang pernah bermukim di Prancis ini menyebutkan tiga alasan mengapa tes ini sebaiknya dihapus. Pertama karena melanggar HAM, kedua terkait diskriminasi gender, dan ketiga sebab tidak berbasis ilmiah.
Apa yang dialami oleh Latisha juga tentu dirasakan oleh banyak wanita di seluruh Indonesia. Tes keperawanan tidak hanya dilakukan dalam lingkup militer saja.
Peraturan yang timbul tenggelam ini kadang mencuat dan menyentuh berbagai aspek dalam masyarakat. Kita tentu pernah mendengar salah satu atlit senam yang "diusir" dari pertandingan olahraga akbar gegara ditenggarai sudah tidak perawan lagi.
Tentu tidak semua orang setuju dengan pendapat Latisha. Pro dan kontra wajar terjadi dalam sebuah aturan. Pada saat aturan ini dibuat, tentu ada dasarnya. Kita tidak bisa serta merta menilai bahwa aturan ini baik atau buruk.
Untuk itu, marilah kita mengulik dari dua sisi berbeda.
Dilansir dari situs Human Rights Watch (hrw.org.id), pada Mei 2015, juru bicara TNI Fuad Basya mengatakan jika tes keperawanan adalah cara untuk menyingkirkan calon Kowad yang "kepribadiannya tidak bagus."
Ia kemudian mengasosiasikan "wanita tak bermoral" dengan tentara wanita. Berita berasal dari artikel ini.
Sampai di sini saya enggan berkomentar. Perdebatan yang terjadi di antara dua kubu, sebaiknya disikapi bijak.
Mungkin yang dimaksudkan dalam tes ini adalah untuk menjaga akhlak dan moral seorang wanita. Mempersembahkan kesucian sebelum hari pernikahan secara jamak bisa diartikan "tidak bermoral."
Tapi, apakah semua wanita yang tidak perawan itu tak bermoral?
Hal ini diprotes oleh Harry kawan saya (nama samaran). Ia mengaku telah merengut keperawanan istrinya sebelum mereka resmi menikah. Ia keberatan jika istrinya disebut sebagai wanita tidak bermoral.
Tapi, lain lagi bagi Herman (nama samaran). Ia mengecap Harry dan istrinya tidak bermoral. Mereka seharusnya tidak melakukannya meskipun pada akhirnya menikah juga.
Pendapat Harry dan Herman adalah contoh sederhana bagaimana masalah keperawanan menjadi kasus yang "antara penting dan tidak penting."
Kendati demikian, itu adalah urusan pribadi dan pasangannya. Bukanlah urusan orang lain untuk melakukannya.
Menariknya, dr. Robbi Asri Wicaksono, spesialis obgyn mengatakan jika tes keperawanan tidak ada dasar medisnya.
"Secara ilmu medis, tidak ada yang namanya keperawanan, tidak ada tes keperawanan, dan tidak ada karakteristik perawan."
Jadi kalau selaput dara diasosiasikan dengan maksud keperawanan secara umum, maka itu salah.
Dalam kasus pemerkosaan sekali pun, dokter pemeriksa hanya bisa mengeluarkan pernyataan tentang kondisi vagina dan selaput dara.
"Dokter tidak boleh mengeluarkan pernyataan apa yang terjadi sebelumnya terhadap kondisi selaput dara, karena memang tidak memungkinkan untuk mengetahuinya," pungkas dr.Robbi.
Selaput Dara dan Darah Perawan Bukan Tolak Ukur Keperawanan
Selaput dara adalah lapisan tipis dan lentur yang melindungi vagina bagian dalam. Lazim disebut himen (hymen).
Bentuknya bermacam-macam. Ada yang tebal dan ada yang tipis. Ada yang lubang di tengahnya besar, ada pula yang kecil.
Bagi yang tipis dan lubangnya kecil, tentu rentan sobek. Hanya gegara aktivitas fisik atau kecelakaan ringan semata. Namun, bagi yang tebal dengan lubang yang besar, setelah berhubungan seksual pun kadang belum tentu robek.
Begitu pula halnya dengan darah perawan. Pendarahan di malam pertama disebabkan karena selaput darah yang sobek. Tapi, sebagian wanita juga memiliki selaput darah yang tipis, sehingga hanya akan mengeluarkan luka sedikit ketika pertama kali bersenggama.
Terkait dengan moral, selaput dara sering dihubungkan dengan gairah. Konon wanita yang sudah tidak perawan memiliki gairah seksual yang lebih besar dibandingkan gadis perawan.
Itulah sebabnya stigma "wanita baik-baik" jarang melekat pada gadis yang tidak perawan. Budaya patriarki masih menganggap jika seorang wanita yang baik tidak seharusnya bernafsu pada saat pertama kali melayani suaminya.
Padahal kesadaran gairah seksual sudah muncul jauh sebelum perkawinan. Biasanya beriringan pada saat seseorang mencapai masa puber. Ini berlaku bagi pria maupun wanita.
Pertanyaan yang menggelitik bagi para lelaki. Apakah Anda peduli dengan keperawanan calon istri Anda?
Mungkin iya, meskipun Anda tidak sepenuhnya jujur tentang status keperjakaan Anda kepada sang istri.
Jika Anda peduli, apakah yang menjadi patokan keperawanan istri? Bisa saja ia sudah "tidak perawan" lagi karena kecelakaan, atau mungkin vaginanya mengalami kelainan seperti yang sudah saya jelaskan di atas tadi.
Lantas bagaimana mengetahui "keperawanan" seorang wanita? Tiada lain adalah kejujuran.
Pertanyaan selanjutnya, jika calon istri Anda sudah tidak perawan lagi, apakah Anda peduli?
Tidak perlu Anda jawab, karena apa pun jawabanmu, semua adalah pendapat pribadi.
Namun, bagi saya keperawanan bukanlah kesucian ragawi. Ia adalah kesucian rohani. Mampu menjaga akhlak dan moral yang baik adalah manusia yang mampu mempertahankan kesucian dirinya.
Bukankah kita telah belajar banyak dari kisah Nabi Adam dan Hawa?
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H