Tanpa terasa, dua tahun sudah saya menulis di Kompasiana. Mungkin sekarang saatnya untuk mengungkapkan perasaan bersalahku.
Sebagai penulis di Kompasiana, tentu ini lebih dari hanya sekadar bahasa. Adab dan sopan santun harus bisa ditegaskan. Melatih diri untuk bersikap jernih, dengan hati yang bersih, agar tidak ada konflik yang terjadi.
Sebabnya sedari kecil dulu hingga sekarang, kata pamit sangat jarang diungkapkan. Terlebih jika menganggap itu bukan selamanya.
Tapi, justru di sanalah rasa bersalahku. Sebagian di antara mereka justru tidak pernah aku temui lagi. Mereka sudah berada jauh di atas sana.
Untuk itulah, kata pamit ini aku ungkapkan melalui tulisan ini. Agar perasaan bersalahku tidak lagi terjadi.
Rasa bersalahku akan berkurang, karena telah kuungkapkan dengan sepenuh hati.
Sebagai warisan kepada para penerus. Entah para penulis di Kompasiana atau yang di luar sana. Pamit harus diucapkan. Terutama jika ingin meninggalkan rumah, semacam kompasiana ini.
Ingat, kata pamit itu penting. Ia setara dengan ucapan terima kasih, maaf, dan minta tolong. Jadi, selalulah ingat. Jangan pernah mengecilkan arti kata pamit.
Dalam KBBI pamit memiliki dua arti. 1) Permisi (akan pergi), dan 2) Minta diri.
Ternyata selain Minta Diri, kata Permisi juga tertera dalam KBBI. Tapi, kedua hal ini sering membingungkan. Jika kita ingin pergi meninggalkan, terkadang kata permisi bisa digunakan.
Namun, biasanya ditambah dengan kata-kata, "Permisi, saya sudah mau pergi."
Jadi, arti kata permisi sebenarnya lebih luas lagi. Ia bisa digunakan saat kita mengetuk pintu, atau pada saat hendak meminjam sesuatu. Pada saat hendak pergi juga tentunya.
Seiring waktu berjalan, kata pamit juga bermetamorfosis, berikut kalimat-kalimat contoh;
"Izin, saya pergi dulu."
"Siap, saya tinggalkan dulu."
"Lanjutkan, saya off dulu ya."
"Bosan, Left dulu ah."
Dan mungkin masih banyak lagi lainnya, tapi terlalu panjang. Akan mengurangi kekhidmatan tulisan ini.
Dengan demikian pamit tidak memiliki padanan kata yang paling tepat, kecuali kalimat-kalimat panjang yang saya berikan di atas.
Untuk itulah kata pamit harus kita hargai. Ia bukan hanya sekedar bahasa, tapi juga tata krama.
Demikianlah penjelasan singkat saya tentang kata pamit. Tapi, itu tak mengurangi rasa hormatku kepada seluruh penulis di rumah ini.
Izinkanlah aku mengucapkan kata pamit sekali lagi kepada Anda semua. Sekaligus mengingatkan agar tidak takabur jika waktunya sudah tiba.
Untuk kali ini, saya tetap akan mengucapkan kata pamit bersama kalian di sini. Sekaligus mengajak Anda untuk mengucapkan selamat datang kepada hari esok yang sudah berada di ambang mata.
Bagi Kompasiana yang akan berhenti menulis untuk waktu yang lama, saya sarankan untuk memberikan tulisan singkat tentang pamit. Karena itulah cara kita berkomunikasi selama ini.
Tolong diingat!
Bagi yang benar-benar ingin pamit, alias tidak ingin menulis di Kompasiana lagi, saya ingatkan jangan coba-coba!
Karena Acek akan mengirim santet ke kamu, kamu, kamu, dan kamu. Biar setiap kali ingin mengucapkan kata pamit, lidah jadi kelu.
Sekian dan Terima Kasih, Izin pamit hingga esok hari.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H