Ada beberapa bunga anggrek yang indah. Pemimpin Kim ternyata belum pernah melihatnya. Soekarno yang cerdas berdiplomasi pun membaca gelagat Kim.
Soekarno berkata jika bunga tersebut belum memiliki nama. Padahal sudah ada nama magnolia baginya. Mungkin terlalu kebarat-baratan, sehingga Soekarno tidak menganggapnya.
Ia pun menawarkan nama Kim Il-sung sebagai nama bunga. Awalnya menolak, tapi Soekarno berkeras. Jadilah Kimilsungia bagi sang anggrek menawan hati.
Bahkan hingga kini Kimilsungia masih mendapat tempat kehormatan di Korut. Festival Kimilsungia dilakukan setiap setahun sekali di Pyongyang. Dirayakan pada setiap tanggal 15 April yang merupakan hari kelahiran pemimpin besar Kim Il-sung.
Kejadian kedua ketika Kim Il-sung dianugrahi gelar Doctor Honoris Clausa. Sebenarnya bukan hal yang khusus. Soekarno di zamannya juga banyak memberi gelar Dr. H.C. kepada pemimpin-pemimpin negara yang sehaluan.
Tercatat selain Kim Il-sung, juga ada Pangeran Norodom Sihanouk (Kamboja) dan Jenderal Romulo (Filipina).
Namun, gelar ini tentu terasa berbeda bagi Korea Utara. Sepertinya tidak ada catatan pemberian gelar yang sama kepada Kim Il-sung dari negara lain, selain Universitas Indonesia.
Jelas pemberian gelar tersebut politis. Soekarno pada tahun 1965 memang sedang gencar-gencarnya membentuk poros NEFOS (New Emerging Force Nation). Sebagai bentuk perlawanan terhadap NEKOLIM (Neo Kolonialisme dan Imperialisme).
Sepatah dua patah kata pun dipersilahkan kepada Pemimpin Kim. Bukan hanya terima kasih. Khas pemimpin komunis, propaganda pun dilancarkan pada pidato sederhana.
Otonomi kampus serasa tidak berdaya. Sang kamerad hanya tahu tentang ideologi. Ia juga lupa jika di kursi tamu ada duta besar negeri Paman Sam. Wajah memerah, ruangan pun ia tinggalkan.
Soekarno begitu berkesan bagi Kim Il-sung dan rakyat Korut yang mencintainya. Hingga pada tahun 1968, Moon Sing Sool yang baru saja dilantik sebagai Dubes baru di Indonesia membawa surat kepercayaan kepada Soeharto.