Dari balik meja, Irawan adalah anggota redaksi sekaligus menangani urusan teknis pada bulletin De Brevijding (pembebasan). Buletin ini diterbitkan seminggu tiga kali. Berisikan propaganda anti fasis, terbitan mahasiswa-mahasiswa PI.
Oplahnya juga cukup banyak. Sekali terbit bisa mencapai 4.000 eksemplar. Khusus Irawan, pekerjaannya lebih berat. Sebabnya ia harus memastikan jika suplai kertas, listrik, tinta, hingga pemeliharaan mesin selalu tersedia.
Irawan sering menempuh pekerjaan berisiko. Mengangkut peralatan dengan sepeda, kereta dorong. Mengangkut koper yang berisikan dokumen rahasia, menempuh perjalanan panjang maupun pendek.
"Cuaca baik atau buruk, bahaya atau tidak, dalam kegelapan malam, Irawan selalu siap sedia," demikian pungkas Soeripno, salah satu anggota redaksi De Brevijding.
Irawan Soejono adalah ruh pembebasan. Ia diberikan nama samaran Henk van de Brevijding alias Henk Sang Pembebas. Tanpa keberaniannya, PI tidak bisa berbuat terlalu banyak.
Suatu sore di hari Sabtu, 13 Januari 1945. Irawan sedang bersepeda di sepanjang jalan pusat pertokoan di Leiden. Ia membawa mesin stensil yang baru saja selesai direparasi.
Sekelompok tentara sedang melakukan razia tepat di depan jalannya. Dengan sigap, Irawan membalik arah sepedanya ke sebuah gang kecil. Nahas baginya, seorang perwira Jerman melihatnya.
"Dor...." Tembakan dilepaskan, pelipis kiri Irawan jadi sasaran. Ia gugur di tempat.
Irawan dimakamkan di kompleks perkuburan Groenesteeg, Leiden. Pada tahun 1946, jenasah Irawan dikremasi dan dibawa pulang ke Indonesia. Dimakamkan di Tanah Kusir.
**
Jumat, 24 Januari 2020 di Leiden. Hari itu adalah 100 tahun kelahiran Irawan Soedjono. Sejumlah orang yang tergabung dalam organisasi Werkgroep Merapi memperingati jasa Irawan.