Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"The Six", Kisah Diskriminasi Tak Terungkap dari Tenggelamnya Titanic

6 Juli 2021   06:37 Diperbarui: 6 Juli 2021   06:40 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Six: Kisah Tak Terungkap dari Tenggelamnya Titanic Tentang Diskriminasi (hongkongfp.com)

Tanggal 14 April 1912, menandai tenggelamnya RMS Titanic, kapal pesiar termewah di zamannya. Sebanyak 1.500 dari 2.224 penumpang tewas, sementara 700 lainnya berhasil diselamatkan oleh kapal Carpatiha pada keesokan harinya.

Seluruh penumpang yang selamat dielu-elukan oleh publik Amerika. Kisah perjuangan mereka menjadi inspirasi. Media mempublikasikan mereka sebagai pahlawan.

Namun, tidak bagi 6 orang penyintas yang berdarah Tionghoa. Kisah hidup mereka bahkan jauh lebih tragis dari tragedi Titanic itu sendiri.

Inilah yang diangkat dari film dokumenter "The Six" yang dibesut oleh Steven Schwankert, seorang sejarawan, dan Arthur Jones, produser film dokumenter asal Inggris.

"Siapa mereka? Kenapa mereka berada di atas Titanic? Bagaimana mereka bisa selamat? Apa yang kemudian terjadi?" Ini adalah serangkaian pertanyaan yang coba diungkapkan oleh tim riset The Six. (womenofchina.cn).

Ke-enam penyintas itu adalah; Lee-bing, Fang-lang, Chang-chip, Ah-lam, Chung- foo, dan Ling-hee.

Mereka diduga sebagai pelaut asal provinsi Guandong yang sedang mencari pekerjaan di Karibia, dengan menumpang kapal nahas tersebut.

Tidak seperti penyintas lain yang hangat menjadi berita, nama mereka seolah-olah dicoret dari sejarah. Hal ini terkait dengan sentimen Anti China di AS yang merebak pada awal abad ke-20.

Sesampainya di New York, ke-enam pelaut ini bahkan tidak diberikan perlakuan yang layak. Ada dua versi tentang mereka yang sama-sama tidak manusiawi.

Versi pertama adalah mereka tidak diizinkan meninggalkan kapal Carpatiha dan langsung dilempar ke kapal Anetta yang akan bertolak ke Kuba.

Versi kedua mengatakan jika mereka tetap diizinkan turun ke daratan, tapi harus menginap di penjara selama 24 jam sebelum berangkat ke Kuba. Tidak ada perawatan medis yang memadai yang diberikan kepada mereka.

"Apapun perlakuan yang mereka dapatkan, itu adalah perlakuan yang tidak manusiawi," ucap Jones.

Dalam 24 jam sejak diri mereka selamat, mereka harus mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Mereka diusir dari Amerika Serikat karena undang-undang Chinese Exclusion Act yang melarang imigrasi orang China ke AS.

Dalam laporan yang diterbitkan beberapa hari setelah tenggelamnya Titanic, surat kabar Brooklyn Daily Eagle menyebut ke-enam penyintas China itu sebagai "mahluk" yang melompat ke sekoci untuk menyelamatkan diri dan bersemunyi ketakutan di bawah kursi.

Namun, tim The Six membantah pernyataan tersebut. Mereka melakukan rekonstruksi dengan replika sekoci Titanic, dan mendapati bahwa bersembunyi di bawah kursi sekoci adalah hal yang mustahil.

Liputan pers lainnya lagi menuduh para pria China itu menyamar menjadi wanita agar diprioritaskan naik sekoci. Tapi, sekali lagi tidak ada bukti atau saksi yang melhat mereka berpakaian wanita pada saat diselamatkan.

"Itu adalah cerita yang dikarang oleh pers dan publik setelah peristiwa tersebut," ungkap Tim Maltin, sejarawan Titanic kepada BBC.

Bahkan menurut Maltin, orang-orang Tionghoa itu melakukan aksi yang cukup heroik dengan membantu para penyintas lainnya naik ke sekoci.

Aksi rasialisme cukup menjadikan kisah tersebut seolah-olah nyata, tanpa perlu pembuktian. Tapi, semua terasa pas dengan munculnya stigma yang melekat pada banyak lelaki penyintas.

Saat itu ada kecenderungan dari masyarakat umum yang merasa bahwa perempuan dan anak-anak seharusnya diprioritaskan. Jadilah ke-enam orang China itu sebagai kambing hitam yang paling tepat untuk menyelamatkan lelaki kulit putih lainnya.

Lebih jauh, film dokumenter The Six juga menyoroti kehidupan ke-enam penyintas ini setelah tragedi bersejarah tersebut.

Setelah dikirim ke Kuba, ke-enam pria itu akhirnya bekerja di Inggris, karena negara tersebut kekurangan banyak pelaut setelah Perang Dunia I.

Chang-chip terlebih dahulu meninggal akibat pneumonia pada tahun 1914. Ia kemudian dimakamkan di sebuah lokasi pemakaman di London, tanpa nama.

Ke-lima pelaut sisanya sempat bekerja di Inggris hingga tahun 1920. Namun demikian mereka harus berjibaku menjalani hidup yang tidak menyenangkan akibat resesi dan meletusnya sentimen anti-imigran.

Sebagai akhirnya, mereka kembali terusir dengan kebijakan anti-imigran yang dicetuskan oleh pemerintah Inggris, kendati sebagian dari mereka telah menikahi wanita Inggris dan memiliki anak.

Ah-lam dideportasi ke Hong Kong, Ling-hee pergi ke India, Lee-bing ke Kanada, dan Fang-lang akhirnya menjadi warga negara AS, setelah sudah pernah diusir.

Fang-lang sendiri akhirnya meninggal dunia pada 1985 di usianya yang ke-90. Selama kembali ke AS, Fang-lang dengan erat menutup identitasnya sebagai penyintas Titanic.

Tom Fong anaknya bahkan baru mengetahui kisah Titanic dan ayahnya selang 20 tahun setelah Fang meninggal. Ia tanpa sengaja diberitahukan oleh sanak saudara jauhnya yang mengetahui hal tersebut.

Tom menduga alasan ayahnya merahasiakan identitasnya karena masalah trauma dan stigma. Ia telah dituduh macam-macam tanpa bisa memberikan bantahan.

"Ada banyak informasi bahwa mereka diam-diam masuk ke bawah kapal, dan berpakaian seperti perempuan. Cerita-cerita yang beredar pada masa itu," pungkas Tom.

Ketika Tim The Six melacak kisah ke-enam penyintas tersebut, mereka banyak terkendala dengan keengganan keluarga untuk berbagi. Tersebab stigma seabad yang lalu masih sangat membekas dalam diri mereka.

Untungya Tom Fong yang sekarang tinggal di Wisconsin, Amerika Serikat masih ingin berbagi.

Ia banyak bercerita bagaimana perlakuan diskriminasi yang ia dapatkan oleh ayahnya sewaktu masih hidup. Mulai dari julukan yang tidak pantas, perlakuan yang tidak menyenangkan, hingga perkelahian yang tidak perlu.

Tom Fong merasa perlu mengungkapkan kisah keluarganya dengan harapan agar masyarakat umum bisa belajar tentang keenam penyintas Titanic yang didiskriminasi.

"Karena jika kamu tidak tahu sejarah, kejadian yang sama akan terulang dengan sendirinya," ujarnya.

Nampaknya, Tom memang benar. Berbagai macam perlakuan diskriminasi masih banyak ditemui setelah seabad kemudian.

Di tengah pandemi yang sedang merebak, atas kepentingan politik, aksi rasialisme pun terasa perlu untuk mencari kambing hitam. Entah sampai kapan akan berakhir.

Referensi: 1 2 3

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun