Jadilah otak garangnya bekerja. Jika tulisan politik sudah tidak diminati, ia hanya butuh pergeseran fokus. Spesialisasi tukang kritik, sekarang sudah kayak jangkrik. Hanya bersuara di malam hari.
Kang Fery mulai mereka-reka.
Ia ingin menulis tentang Kamasutra anggitan Engkoh Rudy. Tapi, ia sadar, otong adalah masalah sensitif (baca:Â pendek). Tidaklah jadi ia menulisnya.
Ia ingin menulis puisi bak Uda Zaldy. Tapi, baginya laki brewokan seharusnya nge-rock, bukan nge-rok. Lagipula kanal fiksiana juga sebelas-duabelas dengan kanal politik. Minim perhatian Mimin.
Ia ingin menjadi Engkong Felix dengan tulisan ala Kenthirisme-nya yang melegenda. Apa daya, Kang Fery tidak bisa ketawa lepas (baca: mulutnya sariawan).
"Ternyata pandemi Covid-19 memberi hikmah tersendiri, [...]"
Setelah pikir punya pikir. Jadilah ia memilih sebuah kanal yang tak pernah sepi pengunjung, yakni masak-memasak. Di bangsal KPB, tulisan ini hanya diulik oleh ibu-ibu berhijab. Sebutkanlah Mba Siti Nazarotin, Mba Siska Artati, Mba Wahyu Sapta, dan Mba Muthiah Alhasany.
Kang Fery bukan pecundang. Ia juga bukan preman yang seneng malakin emak-emak. Ia hanya ingin merasa seksi jika bisa menjadi pria gagah dengan keahlian memasak. Chef Jun bertato adalah idolanya.
Lagipula, akhir-akhir ini tulisan para emak-emak foodie ini seringkali jadi AU. Tidak adalah salahnya mencoba.
Yang terpenting lagi, dengan memilih kanal ini, kemaluan Kang Fery tidak akan menjadi besar. "Chef lelaki itu sudah biasa dan luar biasa,"Â demikian pungkasnya.
Tapi, untuk lebih macho lagi, tulisan pertama yang dianggitnya adalah Semur Sapi. Jelas ini lebih bagus dari mi instan ala kos-kosan atau nasi goreng bumbu sachetan ala ngos-ngosan.