Pemuda itu masih berusia 20an. Ia tidak suka melihat lagak pemuda di zamannya yang tidak mau pakai penutup kepala bak orang barat.
Sementara kaum kolonial dan intelektual juga tidak suka dengan sarung, blangkon, dan peci. Dianggapnya lebih rendah.
Acaranya akbar. Pertemuan Jong Java di Surabaya. Sedianya banyak perdebatan akan terjadi. Tapi, sang pemuda sudah mulai perdebatan dengan dirinya sendiri.
"Apakah kamu adalah seorang pemimpin?"
"Aku adalah seorang pemimpin."
"Jika demikian, maju dan buktikanlah. Pakai pecimu, masuk ke ruang rapat," ujarnya membatin.
Semua orang ternganga. Melihatnya tanpa bersuara. Ribu perasaan tertumpah. Hingga Sang Putra Fajar berbicara;
"[...]. Kita membutuhkan sebuah simbol. Mewakili kepribadian Indonesia. Peci ini khas dipakai oleh bangsa Melayu. Adalah asli milik rakyat kita... Marilah tegakkan kepala. Pakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka. [...]."
Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Soekarno menuturkan;
"[...], peci ini untuk menunjukkan kesetaraan antara bangsa Indonesia dan Belanda. Antara yang terjajah dan penjajah. [...]."
Jadilah hari itu sebagai hari bersejarah. Soekarno selalu tampil dengan peci hitamnya. Sebelum Indonesia merdeka hingga ia menjadi Presiden.