Nama Lie Agustinus Dharmawan pun tersemat padanya hingga kini. Rumah Sakit Kariadi, Semarang adalah tempat pertamanya bekerja. Dilanjut dengan RS Rajawali, Bandung, dari 1986-1988.
Setelah itu dr. Lie hijrah ke Jakarta. Rumah Sakit Husada menjadi tempat pilihan karirnya dari 1988-1999. Namun, karir di rumah sakit ini terpaksa harus ia hentikan tersebab hidupnya terancam.
Terlibat Gerakan Reformasi 1998
Tahun 1998 adalah era reformasi. Suasana politik sangat gaduh. Peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti dan pemerkosaan wanita etnis Tionghoa menjadi dua peristiwa besar yang mengakhiri masa orde baru.
Sebagai seorang dokter Indonesia yang juga keturunan Tionghoa, dr. Lie bergabung dalam Tim Gabungan Pencari Fakta atas kasus pemerkosan wanita Tionghoa di Indonesia.
Di bawah pimpinan Romo Sandyawan ini, dr. Lie lebih banyak menangani korban yang membutuhkan pembedahan sesuai keahliannya. Namun, seperti anggota relawan lainnya, dr. Lie juga mendapat banyak ancaman dan teror. Â
Kiprah Kemanusiannya Tak Pernah Berhenti
Akhirnya demi keselamatan nyawanya, Lie pindah kembali ke Jerman. Pada 1 April 1999, setelah situasi mulai kondusif, Lie kembali ke Indonesia. Di sini ia melanjutkan aksi sosialnya dengan bergabung dengan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) sebagai salah satu pengurus inti.
Kiprah kemanusiaannya tak pernah berhenti. Ia terjun langsung di lapangan pada saat tsunami menerjang Aceh dan Nias. Ia berada di lapangan pada saat bencana mendera Bengkulu, dan lain sebagainya.
Pada tahun 2014, dr. Lie menjadi tokoh inspiratif Indonesia dengan berbagai penghargaan.
Ia menjadi ikon Majalah Gatra, menerima penghargaan Kick Andy Heroes, Anugrah Lencana Bhakti Kesra Utama, dan menjadi nominator dalam Liputan6 SCTV Awards. Semuanya pada tahun yang sama.