Rumah adalah kebutuhan. Memiliki rumah sendiri adalah idaman setiap manusia. Tapi, milenial tidak bisa beli rumah. Menjadi tren topik yang cukup mengerikan di indonesia akhir-akhir ini.
Semuanya terkait. Mulai dari problema ketersediaan lahan, harga rumah yang gila-gilaan, masalah pendapatan yang tak seimbang, hingga gaya hidup yang asal-asalan.
Uang yang dihasilkan, tidak lagi ditabung. Tidak melakukan perencanaan untuk masa depan. Yang penting eksis, ini mungkin adalah motto dari sebagian besar milenial yang sudah produktif.
Tren yang sama juga berkembang di Korea Selatan. Adalah Shibal Biyong yang secara harafiah berarti Shibal (ungkapan frustasi) dan Biyong (pengeluaran).
Fenomena ini terjaring dari rasa frustasi para kawula muda di Korea. Seberapa keras mereka bekerja, secara logika, rumah tetap tidak bisa terbeli.
Sebagai akibatnya, pendapatan yang mereka dapatkan sebagian besar dihamburkan dengan pola konsumtif.
Gaya hidup hedon menjadi pilihan, tidak ada lagi jalan keluar atas harapan masa depan. Rumah tidak menjadi pilihan.
Baca juga:Â Fenomena Shibal Biyong yang Bisa Lebih Ngetren dari K-Pop dan Drakor
Lantas, jika harga rumah benar-benar murah, apakah para milenial akan membelinya? Belum tentu.
Di Jepang ada sekitar 7,57 juta rumah kosong. Atau sekitar 13,6 persen dari total rumah di Jepang. Jumlah ini diperkirakan akan semakin bertambah.
Para pemilik yang sudah tidak menempati, atau para ahli waris bisa menjualnya dengan sangat murah. Ada yang hanya 4 dollar Amerika, ada pula yang gratis.
Tapi, masalahnya belum tentu ada yang berminat. Rumah-rumah ini disebut dengan Akiya. Secara harafiah, artinya "Rumah Kosong." Tidak ada yang aneh.
Fenomena ini juga bukan merupakan sesuatu yang aneh di Jepang. Terlebih jika kita sudah paham situasinya.
Generasi muda Jepang mungkin tidak senaif Korea Selatan. Namun, masalahnya adalah jumlah mereka semakin sedikit. Menurut penelitian, dalam dua dekade terakhir, Jepang telah kehilangan 16 juta penduduknya.
Di samping itu, Jepang sendiri lebih banyak memiliki penduduk usia tua dalam populasinya. Masalah menjadi semakin lengkap ketika semakin banyak anak muda yang enggan berkeluarga.
Akiya adalah rumah warisan. Kebanyakan berada di daerah pinggiran atau pedesaan.
Dihuni oleh para jompo dan enggan dilirik oleh anak-anaknya yang sudah merantau. Belum lagi masalah pajak warisan dan pajak rumah yang cukup tinggi.
Ketika orang-orang tua tersebut pindah ke rumah jompo atau meninggal, jadilah Akiya. Bahkan ada juga beberapa yang memiliki kisah tragedi. Penghuninya mati dalam keadaan sendiri (kodokushi), atau bunuh diri karena depresi.
Stigma kepercayaan lokal menjadikan Akiya semakin tidak diminati. Orang Jepang masih percaya takhyul. Mereka enggan membeli rumah yang memiliki cerita seram.
Rumah yang menjadi lokasi bunuh diri, pembunuhan, kematian karena kesepian, atau yang sudah lama kosong dianggap membawa nasib sial bagi penghuni barunya.
Selain itu, pajak dan biaya renovasi juga tidak murah. Kemungkinan bisa sama dengan membeli rumah baru di perfektur yang sama.
Diperparah lagi, tidak ada agen properti yang berniat menjualnya. Harga rumah terlalu murah, komisinya kekecilan. Biaya administrasi dan pengurusan saja tidak cukup.
Masyarakat Jepang juga memiliki stigmanya. Membeli Akiya melambangkan kegagalan. Pasangan muda di Jepang akan menjadikannya pilihan terakhir.
Para anak muda baru dianggap hebat jika mereka bisa memiliki rumah di Kawasan kota yang ramai. Kendati harganya sudah "tak kebeli," karena sudah mencapai angka sekitar 11 miliar rupiah.
Dengan sedemikian banyaknya rumah tak berpenghuni, problema ini akhirnya menjadi isu nasional.
Kondisi Akiya pada umumnya adalah rumah lama. Usianya berkisar antara 20 hingga 30 tahun. Beberapa di antaranya juga dibangun asal-asalan. Tidak tahan gempa dan strukturnya tidak sehat.
Fenomena rumah kosong ini tidak saja terdapat di pedesaan, tapi juga di kota besar. The Japan Times melaporkan 1 dari 10 rumah di Tokyo, saat ini adalah Akiya.
Untuk menyiasati ketertarikan masyarakat Jepang terhadap Akiya, pemerintah daerah sudah melakukan banyak hal. Di antaranya adalah memberikan subsidi renovasi rumah hingga pajak pembelian rumah yang murah. Â
Bahkan di desa Okutama yang terletak dua jam dari Tokyo, pemerintah daerah menawarkan biaya sewa yang murah bagi peminat. Mereka bisa menyewa selama 15 tahun dan setelah itu, rumah tersebut akan jadi milik mereka.
Aturan baru juga ditetapkan. Kepemilikan rumah bisa diperoleh orang asing. Dengan visa turis, visa pelajar, atau kunjungan sementara, siapa pun bisa membelinya.
Namun, tentu lebih baik jika Anda memiliki izin tinggal atau setidaknya sedang bersekolah atau bekerja di sana.
Dengan demikian, pada kunjungan berikut, saya mungkin tertarik untuk membeli satu unit. Harga 4 dollar Amerika cukup pantas untuk satu unggahan di medsos.
"Usia 23 tahun, saya sudah bisa beli rumah di Jepang."
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H