Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kalijodo, Ca-bau-kan, Tiong-cu-pia, Tan Peng-lian, Batavia di Masa Temaram

16 Juni 2021   05:33 Diperbarui: 16 Juni 2021   05:38 1370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada yang salah mengunjungi keramaian di pusat kota Jakarta. Tidak ada yang salah juga ketika para wanita tampil mempesona, dan tidak ada yang salah jika para pria mencari jodoh di sana.

Ini adalah wajah Kalijodo di abad ke-18. Adalah Tang Peng-liang, seorang saudagar tembakau asal Semarang. Ia jatuh cinta dengan Tinung (Siti Noerjahati), seorang wanita Betawi yang berparas cantik, suara merdu, dan pandai menari.

Inilah sekilas potongan novel Ca-bau-kan yang disutradarai oleh Remmy Sylado. Mengangkat kisah kejayaan Kalijodo di zaman dulu. 

Di masa Hindia Belanda, tempat yang juga dikenal sebagai Kali Angke itu adalah pusat keramaian. Hiburan di atas perahu yang tertambat, "Kalijodo" ini memiliki kelasnya tersendiri.

Berbagai pesta rakyat diadakan di lokasi ini. Pengunjungnya pun datang dari mancanegara. Salah satu yang paling terkenal, berhubungan dengan budaya Tionghoa.

Namanya festival Pe-choen. Digelar setiap 100 hari pertama kalendar imlek. Muda-mudi ramai berdatangan, menyampiri keramaian. Ada barongsai, ada pula gambang keromong.

Para pengunjung berharap mendapatkan jodoh. Para bujang akan naik ke atas perahu, melempari gadis idamannya dengan kue Tiong Cu-pia (kue bulan).

Para pendatang yang kesepian, akan mencari gadis lain sebagai tambatan hati. Selagi istri tidak bisa ke Batavia, mereka juga melempar kue Tiong Cu-pia.

Adalah para Ca-bau-kan-lah yang diharapkan dapat membuang kembali kue tersebut.

Ca-bau-kan terhormat. Kendati memiliki arti sebagai 'wanita' dalam bahasa Tionghoa yang terkesan negatif, mereka bukanlah wanita yang menjajakan tubuhnya. Mereka memiliki keahlian. Bisa menyanyi, menari, dan membuat semua orang terpesona.

Mereka memang mencari uang, tapi tidak dengan melacur. Ca-bau-kan bisa disamakan dengan Geisha dalam budaya Jepang. Menghibur adalah keahlian mereka, kendati terjebak dengan lelaki kaya beristri adalah taruhannya.

Banyak muda-mudi kesepian akhirnya bertemu jodoh di sana. Tapi, lebih banyak lagi pria kesepian. Merantau demi sesuap nasi, sukses di negeri orang, keluarga nun jauh di sana.

Jadilah cinta transaksional. Para etnis Tionghoa yang berdomisili di sekitar Angke pun menjadikan Kalijodo sebagai tempat untuk mencari gundik. Istilah Ca-bau-kan pun tersemat pada gadis lokal yang mencoba peruntungan.

Semakin banyak yang bertemu jodohnya. Tapi, masih banyak lagi pria yang kesepian. Kalijodo pun semakin terkenal. Bukan lagi para pedagang China, bukan lagi para Ca-bau-kan.

Lama-kelamaan Kalijodo pun berubah menjadi lokalisasi. Tepatnya pada tahun 1958, ketika Wali Kota Jakarta Raya, Sudiro melarang aktivitas pesta air mencari jodoh. Segera dalam kurun beberapa tahun ke depan, kawasan yang kesepian ini berubah menjadi tempat lokalisasi dan berbagai hiburan malam lainnya.

Kini Kalijodo telah berubah wajah. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) lah yang punya andil. Ruang terbuka hijau, tempat bermain para keluarga terhormat.

Tidak ada lagi dunia malam, para preman tidak lagi berseliweran. Tidak ada lagi cinta semalam, kendati dua sejoli masih memadu kasih dalam dinginnya malam.

Tidak ada lagi kue Tiong Cu-pia yang dihambur-hamburkan, kini harganya sudah tidak lagi murah. Tidak ada lagi para Ca-bau-kan yang menantikan para tuan.

Semuanya sisa kenangan, atas gelora ibu kota yang masih menyimpan hasrat. Para gadis muda berjalan lenggak-lenggok, menggoda para perjaka yang merindukan tambatan hati.

Sebagaimana hati Tinung, yang selalu mendambakan kehadiran Tan Pen-liang. Memeluknya dalam diam, menatap langit malam, dan berkisah kepada para turunan;

"Inilah wajah ibu kota yang temaram, menyimpan dosa dalam sekam, menyisir luka dalam kelam, menguak kesucian dalam ruam."

Referensi: 1 2 3

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun