Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Andai Lea Ada di Korea, Mungkin "Zahra" Jadi Juara

4 Juni 2021   06:46 Diperbarui: 4 Juni 2021   06:56 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Last Tango in Paris (kompasiana.com)

Sinetron Suara Hati Istri: Zahra bikin heboh. Banyak yang mengecam. Dianggap tidak bermutu. Mempromosikan pedofil tudingannya.

Bukan karena isi cerita. Tapi pemainnya. Zahra yang diperankan Lea Ciarachel adalah istri ketiga. Bercinta, hamil lagi.

Tidak disebutkan berapa usia Zahra dalam sinetron tersebut. Tapi, Pemerannya kelahiran 2006. Usianya baru 15 tahun. Masih duduk di bangku SMP pula. Edan!

Untungnya KPI segera bertindak. Pihak Indosiar menyatakan akan mengganti pemeran Zahra. Pemainnya harus berusia 18 tahun.

Nama Lea Ciarachel akan segera menghilang dari tayangan. Tapi, ia sudah terlanjur dikenal warganet.

Mengawali karir sebagai model di tahun 2019. Membintangi beberapa produk iklan. Aktif di medsos, memiliki banyak followers. Hingga akhirnya digaet pihak Indosiar.

Dengan kejadian ini, akankah Lea terpuruk? Tidak, ia adalah korban. Tentunya pihak PH yang dituding. Orangtuanya pun disalahkan. Usia 15 tahun harusnya masih ngupil.

Yang terjadi malah sebaliknya. Namanya akan meroket. Mungkin tayangan berikutnya akan lebih pantas. Judul cinta monyet terasa lebih pas.  

Seks dalam tayangan selalu menjadi daya tarik. Setara dengan kekerasan dan Sundel Bolong. Kalau mau tayangan ramai ditonton, temanya bikin sederhana.

Seorang Wanita diperkosa, mati dibunuh, akhirnya jadi Sundel Bolong.

Ketawa? Itulah kenyataan. Memang sih, sinetron Zahra tidak sevulgar itu. Pun realita sosial yang disuguhkan ada di sekitar kita.

Tapi, pikiran manusia susah dikontrol. Patung romawi tak berbusana dipakaikan kain. Pun tidak bagus buat anak di bawah umur. Apalagi yang seusia Lea.

"Jadi, baru SMP sudah boleh jadi istri ketiga ya?" Cilaka dah.

Meski ada juga yang bijak. Tidak memedulikan usia Lea. Tayangan istri ketiga dijadikan pedoman. "Pokok e jangan mau dimadu."

Kita selalu membandingkan konten lokal dengan asing. Jangankan Hollywood, sebagai sesama negara Asia, film Korea sudah dianggap dewa.

Dijadikan panutan, dipuji, bahkan ramai-ramai memutihkan kulit. Padahal kulit sawo matang orang Indonesia itu keren lho.

Nah, kalau tayangan korea mau dijadikan panutan. Mikir lagi deh. Tersebab tema pedofilia juga ada. Tidak pernah dibicarakan, tidak pernah dipermasalahkan. Jauh pula dari radar KPI.

Tidak beredar di televisi. Jauh dari jangkauan anak ingusan. Kata siapa? Sisa diunduh dari telpon genggam. Orangtua sebaiknya hati-hati.

Adalah film A Muse. Mengangkat kisah percintaan seorang perempuan muda dan lelaki dewasa. Ada pula professor tua yang tergila-gila pada sang gadis. 

Poster film A Muse (m.fimela.com)
Poster film A Muse (m.fimela.com)
Pemeran wanitanya Bernama Kim Go Eun. Usianya sudah 21 tahun waktu beradegan vulgar. Tidak melanggar aturan KPI.

Anda mungkin akan tercengang. Bukan hanya karena payudara dipertontonkan. Tapi, ia juga berperan sebagai gadis berusia 17 tahun.

Banyak yang mengecam. Apalagi warganet Korea. Konon lebih kejam dari Indonesia. Apa yang terjadi? Nama Kim Go Eun meroket. Ia menjadi artis papan atas.

Bagaimana dengan film Muse? Jelas kalau di Indonesia sudah dicekal. Tapi, di sana ia dapat penghargaan. Blue Dragon Awards ke-33.

Bukan sebagai film terbaik. Tapi, Artis Pendatang Baru terbaik. Kim Go Eun yang sudah bersusah payah beradegan seks yang jadi pemenangnya.

Alasannya? Seni, bukan porno.

Kim tidak sendiri. Coba buka mesin pencari gugel. Anda dengan mudah mendapatkan nama 10 artis cantik nan beken yang terkenal dari adegan seks. Sebagian sama seperti Zahra. Memerankan gadis polos di bawah umur.

Tren film A Muse bukan yang pertama. Film produksi Korea Selatan baru saja terkenal. Jauh sebelumnya sudah ada Hollywood dan Bollywood.

Sewaktu SMP, saya suka bohong ke papa. Mau nonton film. Ada Warkop DKI lagi tayang. Nyatanya, masuk ke ruang sebelah. Tontonannya film "nehi-nehi." Banyak adegan nganunya.

Tapi, tidak masalah. Tersebab komedi ala Dono-Kasino-Indro zaman dulu juga banyak adegan dewasa. Dikemas dalam bentuk komedi. Dan papa tidak tahu. Yesss!

Atau mungkin papa juga sudah tahu kelakuan anaknya? Hanya tutup mata saja?

Sebabnya di zamannya, juga sudah ada film begituan. Last Tango in Paris (LTP) judulnya. Produksinya tahun 1972. Bintang filmnya keren. Marlon Brando, setara Brad Pitt zaman milenial.

Last Tango in Paris (kompasiana.com)
Last Tango in Paris (kompasiana.com)
Film tersebut mengisahkan tentang percintaan seorang duda Amerika dengan gadis muda. Maria Shcneider tampil menawan. Ia masih berusia 19 tahun. Mampu mengimbangi akting Marlon Brando yang berusia 49 tahun kala itu.

Tapi, ada adegan kekerasan seksual di dalamnya. Si duda lupa daratan. Sang gadis berusia 19 tahun diperkosa. Adegannnya benaran pula.

Maria Schneider yang harusnya terkenal, akhirnya jadi stres. Film itu menuai banyak kecaman. Tapi, setelah berpuluh-puluh tahun sesudahnya. Di saat sudah terlanjur ditonton oleh tiga generasi.

Baca juga: Last Tango in Paris: Horor Adegan Pemerkosaan yang Nyata Terungkap Setelah 44 Tahun.

Kembali kepada sinetron Zahra. Saya termasuk yang bloon soal sinetron Indonesia. Istri lebih tahu. Tapi, ia tak pernah menyinggungnya.

Itulah sebabnya kali ini aku lebih pintar. Tahu tentang Zahra dan Lea Chiarachel.

Ryu itu usianya baru 11 tahun. Pra-remaja. Masih suka ngupil. Ia pun taktahu tentang Zahra.

Namun, ia tahu tentang fakta film Last Tango in Paris. "Papa tahu tidak kalau film LTP itu bla-bla-bla."

Ryu tahu dari Youtube. Ia punya sebuah kegemaran. Wajar bagi anak berusia 11 tahun. Mengumpulkan fakta kejadian dunia. Negara terbesar hingga negara terkecil. Juga aksi kejahatan yang menghebohkan.

Tapi, bagi Ryu itu adalah pengetahuan. Patut dibanggakan, bukan untuk dicontohi.

"Ryu tahu apa itu perkosa?" Tanyaku hati-hati.

"Iya, pa. Itu kalau laki-lakinya jahat, suka siksa perempuan," jawabnya.

Syukurlah. Ia tidak menjadikan aksi Marlon Brando sebagai panutan. Aku pun juga tidak bisa melarangnya. Cukup ditahu saja.

Dunia tanpa batas sudah berada di hadapan kita. Pengetahuan milenial melebihi bapaknya. Mengomel-ngomel ke PH memang wajar dilakukan. Tersebab Lea masih di bawah umur. Aku pun tak rela putriku dieksploitasi.

Tapi, kita juga tidak bisa menolak fakta bahwa tayangan seksual ada di sekitar kita. Pedofilia itu masih menjamur. Jangan sampai anak menjadi korban.

Tidak bisa diberantas, janganlah dilawan. Cukup diamini bahwa itu ada. Berikanlah proteksi kepada anak-anakmu. Pendidikan seks dan keluarga itu penting.

Berikanlah kasih sayang kepada mereka. Dengan begitu, mereka akan menyayangimu juga. Menjaga diri sendiri dan bertanggung jawab. Semuanya atas nama cinta.

Saya jarang mengecek ponsel Ryu. Hingga suatu saat, ada gambar seorang gadis cantik di gawainya.

"Siapa itu, Ryu?" Tanyaku.

"Ini Kim Go Eun, Pa," Jawabnya.

Aku diam. Tidak melanjutkan. Toh, si Kim ini adalah artis papan atas Korea. Film A Muse hanya salah satu di antaranya. Toh, masih banyak film lainnya yang ia perankan.

Semuanya ada dalam pikiran...

  

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun