Sementara dalam kasus Linda, ia tidak melihat Tiratana dalam perwujudan yang jelas. Bukan sebagai suatu kesatuan. Tapi, sebagai bagian terpisah-pisah. Ia mengkultuskan Bhikkhu hebat. Memisahkannya dengan yang biasa-biasa saja.
Linda juga mengharapkan dosanya dihilangkan atau karma baiknya berbuah pada saat ia bernamaskara di hadapan "guru besar." Padahal itu bukan hal mutlak untuk mendapatkan rezeki atau kehidupan surgawi.
**
Ajaran agama Buddha tidak mengenal doktrinisasi. Tidak bernamaskara di hadapan Tiratana masih bisa masuk surga. Semuanya kembali kepada diri sendiri. Mengartikan Namaskara sesuai dengan hati.
Bernamaskara adalah menghormati yang perlu dihormati. Tidak hanya kepada Tiratana saja. Contoh, rakyat Thailand bernamaskara di hadapan rajanya. Dianggap sebagai sosok yang patut dihormati.
Sebagai manusia kita pun bisa melakukan hal yang sama. Bernamaskara di hadapan orang lain. Jika kita tidak punya Raja yang patut disegani, masih ada orangtua yang pantas dihormati.
Setiap tahun baru imlek, kami sekeluarga selalu bernamaskara di hadapan ayah-ibu. Pun anak-anakku juga bernamaskara di hadapan ayah dan ibunya.
Itu adalah wujud bakti. Sebab tanpa orangtua, kita tidak akan terlahir di dunia ini. Tanpa mereka, kita tidak akan tumbuh kembang menjadi dewasa. Tanpa kehadiran ayah-ibu, kita tidak akan mendapatkan kasih sayang di dunia ini.
Bernamaskaralah kepada yang patut dihormati. Tidak perlu dalam wujud Namaskara.
Saya menghormati seluruh manusia. Sembah-sungkemku bagimu semua adalah dalam bentuk Sembah-nuwun.
Seperti matahari dan bulan, kebenaran adalah sesuatu hal yang takbisa disembunyikan. Semoga dengan memahaminya, kebahagiaan akan datang menyerta.