Lain lagi dengan si Linda. Menafsirkan Namaskara secara berlebihan. Dalam setiap kesempatan yang memungkinkan, ia selalu melakukannya. Di vihara oke, di tempat umum pun oke.
Bagi Linda, Namaskara di depan Bhikkhu adalah sebuah kewajiban. Ia bilang kalau itu akan menambah timbunan kebajikan. Bisa masuk surga. Terlebih jika untuk Bhikkhu terkenal atau yang sudah senior.
Tapi, tanpa disadari, ia mengkultuskannya. Senioritas seorang Bhikkhu tidak membuatmu mendapatkan tiket ekspres masuk surga. Memiliki motif terselubung, bukanlah hal yang baik.
**
Saya sendiri memilih cara yang lebih moderat. Dilakukan pada saat acara keagamaan resmi, atau pada saat sedang berkonsultasi dengan seorang Bhikkhu.
Jika berada di tempat umum, apalagi dalam situasi yang sibuk, saya tidak melakukannya. Bagiku, bernamaskara bukan ajang pamer. Harus disertai dengan hati dan pikiran yang murni.
Jangan pikir jika semua Bhikkhu juga senang menerima Namaskara. Kadang ada juga Bhikkhu yang merasa risih. Menerima Namaskara dari umat adalah tanggung jawab moral yang besar.
Tersebab sang Bhikkhu harus juga menjaga kemurnian pikirannya. Saya pernah ditolak, karena situasinya tidak memungkinkan. Â
Seorang Bhikkhu tidak bisa merasa senang, bangga apalagi sombong. Ia harus mendoakan harapan yang baik kepada para umat yang bernamaskara. Dengan penuh konsentrasi. Â
**
Nah, sebenarnya bukanlah siapa Bhikkhunya atau bagaimana kondisinya. Yang aku sembah-sungkem adalah Sangha Ratana.