Namun, tentara Jepang tidak siap. Jumlah tahanan terlalu banyak. Tidak memadai dengan suplai makanan, air, obat-obatan, dan transportasi. Akhirnya sebuah keputusan besar pun diambil.
Para tawanan dipaksa berjalan kaki menempuh jarak 131 kilometer. Melewati rute yang tidak ringan. Hutan lebat dan Kawasan pegunungan. Diperparah dengan musim hujan tropis yang menerjang Filipina pada saat itu. Terik matahari, angin kencang dan hujan lebat datang silih berganti.
Jadilah perjalanan yang dikenal sebagai Bataan Death March atau Barisan Maut Bataan dimulai. Para tawanan tidak diberikan makanan dan minuman yang cukup. Mereka hanya disuruh minum dari air kubangan kerbau.
Letkol William Dyess dalam memoarnya; "Bataan Death March: A Survivor's Account," mengisahkan bagaimana ia melihat seorang tawanan yang berpangkat Kolonel dicambuki, hingga wajahnya rusak parah. Juga seorang berpangkat kapten yang tiba-tiba dipenggal tanpa ditahu apa alasannya.
Beberapa ahli sejarah menyimpulkan bahwa siksaan yang diterima oleh para tawanan juga berhubungan dengan kondisi psikologis tentara jepang.
Pertama, mereka menganggap tentara sekutu sebagai musuh utama, sehingga ada aksi balas dendam, meluapkan kemarahan selama perjalanan maut berlangsung.
Kedua, adanya budaya Jepang yang mengharamkan penyerahan diri. Harakiri adalah contoh bagaimana tentara Jepang lebih suka mengakhiri hidupnya ketimbang harus menyerah kepada musuh.
Jadilah para tawanan yang menyerahkan diri, dilihat sebagai mahluk yang hina, dan tidak pantas dihormati. Tidak ada empati sama sekali kepada tawanan yang sudah menyerah.
Sesampainya di kamp penampungan, diperkirakan barisan telah berkurang sekitar 7.000 hingga 10,000 orang serdadu. Penyiksaan belum berhenti sampai di sini.